Analisis Puisi:
Puisi "Rumah Pusaka" oleh Gunoto Saparie merangkum dalam dirinya kehangatan, kenangan masa kanak-kanak, dan pertanyaan tentang arti sejati dari sebuah rumah. Dalam prosa yang sederhana namun kaya akan emosi, penyair mengajak pembaca untuk merenungi kedalaman hubungan manusia dengan rumah, masa lalu, dan identitas.
Keintiman dan Kenangan Masa Kanak-Kanak
Puisi ini menciptakan suasana keintiman yang mendalam dengan menggambarkan suasana rumah pusaka yang tua. Di dalamnya, terdapat kenangan masa kanak-kanak yang lekat dengan kedamaian senja di desa. Suara riuh rendah anak-anak yang bermain dan senyum bunda di ruang tamu menjadi bagian tak terpisahkan dari citra rumah tersebut.
Hubungan dengan Tanah Kelahiran
Penyair menekankan hubungan erat dengan tanah kelahiran melalui kata-kata "likat tanah kelahiran dan lumpur pematang". Ini tidak hanya mencerminkan ikatan fisik dengan tempat itu, tetapi juga menggambarkan ikatan emosional dan spiritual yang dalam dengan akar budaya dan tradisi.
Pertanyaan Filosofis tentang Arti Rumah
Puisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang arti sejati dari sebuah rumah. Apakah rumah hanya sebatas struktur fisik? Apakah rumah juga mencakup kenangan, ikatan emosional, dan makna-makna yang terkait dengan hubungan manusia di dalamnya? Penyair mendorong pembaca untuk merenungkan makna rumah dalam konteks lebih luas.
Kehadiran Budaya dan Alam
Puisi ini tidak hanya berbicara tentang manusia dan rumah, tetapi juga menggambarkan kehadiran budaya dan alam sekitarnya. Melalui gambaran ribuan kunang-kunang di halaman, penyair menekankan keindahan dan keajaiban alam yang melingkupi rumah pusaka tersebut.
Puisi "Rumah Pusaka" adalah sebuah puisi yang memukau dan mendalam, menggambarkan kehangatan, kenangan masa kanak-kanak, dan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang makna rumah. Dengan bahasa yang sederhana namun kaya akan makna, Gunoto Saparie berhasil menciptakan sebuah karya yang memukau pembaca dan mengundang mereka untuk merenungkan tentang hubungan manusia dengan rumah dan identitasnya.
Karya: Gunoto Saparie
Gunoto Saparie. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah.