Analisis Puisi:
Puisi "Lapar, Dahaga, Bianglala" menggambarkan perjalanan spiritual seseorang dalam menghadapi penderitaan dan kehendak diri yang terus-menerus.
Derita dan Pertanyaan yang Terus Berkecamuk:
Penyair menggambarkan pengalaman derita, lapar, dan dahaga secara fisik dan spiritual. Penderitaan ini tidak hanya berupa kekurangan materi, tetapi juga mencakup kehausan akan makna dan pemenuhan ruhani.
Keberadaan Spiritual dalam Amalan Ritual: Meskipun penyair menjalani serangkaian amalan ritual, seperti tarawih, tadarus, dan shalat, ia merasa bahwa kehadiran spiritualnya terbagi-bagi. Meski melakukan ibadah, pikiran dan perasaannya masih dipenuhi oleh keinginan duniawi.
Pertemuan Spiritual dengan Ibunda: Dalam kedalaman hati yang sunyi, penyair berjumpa dengan representasi spiritual ibunya. Ibunda menegaskan bahwa lapar dan dahaga adalah bagian dari perjalanan menuju puncak spiritual. Ini merupakan perwujudan kebijaksanaan dan pengajaran spiritual yang mendalam.
Simbolisme Bianglala: Bianglala menjadi simbol kemuliaan dan keindahan spiritual yang diharapkan. Meskipun menghadapi penderitaan dan kehausan, penyair menyadari bahwa di setiap lapisan kehidupan, termasuk dalam lapar dan dahaga, terdapat keindahan dan kesempurnaan yang menyatu dengan perjalanan spiritualnya.
Penerimaan dan Kepastian Spiritual: Penyair akhirnya menerima bahwa dalam perjalanan hidupnya, penderitaan dan kehausan adalah bagian dari perjalanan menuju kesempurnaan spiritual. Melalui perjuangan dan ketahanan, penyair akan mencapai puncak spiritual, yang diwakili oleh keindahan dan kemuliaan bianglala.
Puisi "Lapar, Dahaga, Bianglala" menghadirkan perjalanan spiritual yang mengharukan, di mana penyair menghadapi penderitaan dan kehausan, namun juga menemukan makna dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan dan spiritualitas. Puisi ini memperlihatkan bahwa dalam setiap penderitaan terdapat potensi kesempurnaan dan keindahan yang menanti di ujung perjalanan.
Karya: Abdul Wachid B. S.