Analisis Puisi:
Puisi "In Memoriam Soetrisman" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan suasana kesedihan dan kehilangan atas kepergian seorang tokoh yang disebut "budayawan". Melalui gambaran-gambaran alam dan suasana, penyair mengungkapkan perasaan duka cita dan penghormatan terhadap sosok yang telah tiada.
Tema Utama
- Kehilangan dan Kesedihan: Puisi ini menggambarkan suasana duka cita yang mendalam atas kepergian Soetrisman. Gerimis yang rapat, langit yang mendung, dan matahari yang redup menjadi metafora dari suasana hati yang muram dan sedih di tengah prosesi pemakaman.
- Penghormatan dan Perpisahan: Penyair menunjukkan penghormatan dan perpisahan yang kental dalam setiap barisnya. Kerabat dan sahabat yang mengangkat keranda, doa dan elegi yang terdengar, serta keberangkatan sang budayawan, semuanya menjadi simbol dari upacara perpisahan yang khusyuk dan penuh penghormatan.
Gaya Bahasa
- Imaji: Penggunaan gambaran alam seperti gerimis yang rapat, langit yang mendung, dan matahari yang redup membantu menciptakan suasana yang kuat dan menggambarkan perasaan kesedihan yang mendalam.
- Metafora: Langit yang mendung dan matahari yang redup juga dapat diinterpretasikan sebagai lambang dari perasaan kehilangan yang melanda tidak hanya manusia, tetapi juga alam semesta yang merasakan kepergian sang budayawan.
Puisi "In Memoriam Soetrisman" merupakan ungkapan perasaan duka cita yang mendalam atas kepergian seorang tokoh yang dihormati dalam lingkungan budaya. Melalui gambaran alam dan suasana yang kuat, penyair berhasil menyampaikan pesan tentang kehilangan yang dirasakan tidak hanya oleh manusia, tetapi juga oleh alam semesta. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan akan pentingnya menghargai dan menghormati para tokoh budaya yang telah berjasa, serta untuk mengenang mereka dengan penuh penghormatan dan kecintaan.
Karya: Gunoto Saparie
Gunoto Saparie. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah.