Puisi: Belajar Melukis (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi Belajar Melukis menunjukkan bahwa seni adalah perjalanan yang tidak terbatas pada hasil akhir, tetapi juga tentang proses, interpretasi, dan ...
Belajar Melukis

lihatlah gambar yang kubuat:
Great Basin dengan warna senja yang merah.
latarnya adalah pegunungan Sierra.
di sini, matahari tak perlu kutampilkan utuh,
karena sesekali, bolehlah kita menghadirkan sesuatu
tanpa harus penuh. apa yang utuh dari kita setiap hari,
mungkin hanya tubuh.
kemudian kuhadirkan pula serombongan banteng
yang sedang berjalan, dan tubuhnya berbayang.
dan di antara mereka, ada yang mati. mereka
terus berjalan. entah sedang mencari apa.
tapi, haruskah kulukiskan tujuan di mata banteng itu,
agar kau tak perlu lagi menduga.
ah, terlalu mudah. tafsir saja sendiri, dan kita
tak perlu saling membohongi.
nah, lukisanku sudah jadi, tanpa harus menimbulkan
gemuruh di dada. tanpa perlu mengeluarkan lava di mata.
setelah kubingkai lukisanku, akan kupajang di kamarmu.
tak perlu kau maknai, sebab di dalam memaknai,
penglihatanmu akan terhalangi.
pusatkan saja inderamu untuk melihat
nanti, jika sudah merasa terhubung
dengan objek di dalamnya, maka tak perlu lagi memaknai.
sebab makna akan datang sendiri:
berkuda putih, sambil menggenggam sebilah pedang
dan mengacungkannya ke gambar itu
dan akhirnya mendirikan kerajaan tirani di kepalamu.

Jakarta, 2009

Analisis Puisi:

Puisi Belajar Melukis karya Agit Yogi Subandi menawarkan pembaca sebuah perjalanan visual dan konseptual melalui penggambaran seni lukis yang tidak hanya sekadar visual, tetapi juga memuat beragam makna yang tersembunyi di dalamnya. Dengan menggunakan elemen-elemen lukisan dan simbolisme yang kaya, puisi ini mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam ke dalam pengalaman estetika dan filosofi.

Penggambaran Visual yang Kuat

Puisi dimulai dengan deskripsi lukisan yang dibuat oleh penulis: “Great Basin dengan warna senja yang merah”. Frasa ini langsung membawa pembaca ke dalam suasana alam yang megah, dengan nuansa warna yang dramatis. Penggambaran pegunungan Sierra dan pemilihan warna senja yang merah menciptakan kesan keindahan sekaligus melankolis. Penulis menunjukkan bahwa lukisan bukan hanya tentang warna, tetapi juga tentang emosi yang dihadirkan.

Kesadaran Akan Ketidaksempurnaan

Penulis mencatat bahwa “di sini, matahari tak perlu kutampilkan utuh”, menandakan bahwa tidak semua hal dalam kehidupan harus terlihat sempurna. Ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa dalam seni—dan dalam kehidupan—sering kali ada kekurangan dan ketidaksempurnaan yang justru memberikan keindahan. Hal ini menjadi refleksi bahwa kita tidak selalu perlu menunjukkan segalanya dalam bentuk yang lengkap; kadang, kehadiran sebagian bisa cukup untuk menyampaikan makna.

Representasi Kehidupan dan Kematian

Dalam lukisan tersebut, penulis menghadirkan “serombongan banteng yang sedang berjalan”, dengan satu di antaranya yang “mati”. Kontras antara kehidupan dan kematian dalam satu lukisan menunjukkan dualitas yang sering ada dalam pengalaman manusia. Banteng yang mati tetapi tetap berjalan menciptakan gambaran tentang siklus kehidupan yang terus berlanjut meskipun ada kehilangan, memberikan pembaca kesempatan untuk merenungkan makna dari keberadaan dan perjalanan hidup.

Tafsir dan Makna

Penulis dengan tegas menyatakan, “ah, terlalu mudah. tafsir saja sendiri, dan kita tak perlu saling membohongi.” Ini merupakan sebuah ajakan untuk tidak terlalu terikat pada makna tunggal. Dalam seni, makna bisa bersifat subjektif, dan setiap orang memiliki interpretasi yang berbeda. Dengan demikian, penulis menyerahkan kebebasan kepada pembaca untuk meresapi lukisan dan makna di dalamnya tanpa tekanan untuk memberikan definisi yang kaku.

Pentingnya Pengalaman Sensorik

Puisi ini juga menekankan pentingnya pengalaman inderawi: “pusatkan saja inderamu untuk melihat”. Penulis mengajak pembaca untuk terhubung dengan lukisan melalui pengalaman langsung, tanpa terhalang oleh interpretasi atau makna yang ditentukan. Hal ini sejalan dengan banyak pandangan seni kontemporer yang mengutamakan pengalaman pribadi dan emosional daripada analisis teoritis yang mendalam.

Konsekuensi dari Makna

Penutupan puisi menyiratkan konsekuensi dari makna yang dibentuk oleh penglihatan kita: “dan akhirnya mendirikan kerajaan tirani di kepalamu.” Ini menggambarkan bagaimana makna dapat membentuk pola pikir dan persepsi kita, bahkan dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Penulis memperingatkan bahwa, walaupun makna bisa datang dengan sendirinya, ada risiko di mana makna tersebut dapat membelenggu pikiran.

Puisi Belajar Melukis adalah sebuah eksplorasi yang kaya akan visual dan makna, mengajak pembaca untuk berinteraksi dengan seni dan meresapi pengalaman tersebut secara mendalam. Melalui deskripsi yang kuat dan simbolisme yang cerdas, Agit Yogi Subandi menunjukkan bahwa seni adalah perjalanan yang tidak terbatas pada hasil akhir, tetapi juga tentang proses, interpretasi, dan refleksi diri. Dengan menekankan pentingnya pengalaman inderawi, puisi ini mengingatkan kita bahwa dalam seni, makna bisa bersifat fluid dan sangat personal, menggugah kita untuk melihat lebih dari sekadar permukaan.

Puisi Terbaik
Puisi: Belajar Melukis
Karya: Agit Yogi Subandi
© Sepenuhnya. All rights reserved.