Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lebaran (Karya Mustafa Ismail)

Puisi "Lebaran" karya Mustafa Ismail menghadirkan serangkaian cerita yang mendalam tentang perayaan Lebaran dari berbagai perspektif.
Lebaran (1)
(- elegi kampung halaman)

Takbir itu mengingatkanku pada lilin-lilin aneka warna
di sepanjang pagar halaman rumah
berbaris seperti membentangkan sejarah panjang
lalu iring-iringan orang lewat, sebuah karnaval,
mengkumandangkan bait-bait kemenangan

Ibu bersiap di dalam: tepung beras, daun pisang muda,
juga kukusan. Di dapur, tungku menyala
besok lebaran, besok lebaran. Adik selalu girang
memandang timphan-timphan yang sudah matang
tadi siang, kami sudah pula menikmati daging makmeugang

Malam bergulir seperti perlahan, banyak orang
menanti-nanti dan mata seperti tak hendak terpejam
sudah ada sejumlah rencana: Batee Iliek, Krueng Kumala,
atau ke Sigli: mencatat keramaian demi keramaian
sekali setahun, setelah itu kembali ke arloji nan sibuk

Tak ada yang bernama kerikil, apalagi tetesan darah
yang membuat kami cemas pergi jauh dan ingin cepat-cepat
pulang. Tak ada suara letusan, tak ada orang menangis
karena sang ayah tak pulang, juga tak ada kematian tanpa kubur
Tuhan selalu datang hati-hati: Maha Besar

Tapi takbir kini membikinku makin jauh
dari lilin-lilin aneka warna di pagar halaman. Juga dari rumah
yang ditinggal pergi, setelah langit menjadi gelap dan
orang-orang menangisi nasib
menanti hujan yang pernah lagi turun

Depok, malam lebaran, 13 Nopember 2004


Lebaran (2)
(- ficer kota besar)


Angin dan hawa hujan seperti tak henti memukul-mukul
tubuh bayi itu. Di malam yang makin beringsut, ia menemukan
dunianya: mimpi tentang daun-daun dan tempat bermain

Entah sudah malam ke berapa ia bermimpi tentang daun-daun
dan tempat bermain, sejak ayah-ibunya ramai-ramai pindah
ke tepi jalan itu, yang padat dan berderang

Ada yang selalu mereka tunggu: Tuhan datang membawa parcel,
sepatu dan baju baru. Tapi mobil-mobil yang lewat, juga rumah-rumah
yang berdiri tegak di sekelilingnya, seperti matahari tak bersinar

Mereka adalah batu-batu yang berlalu ditelan malam

Depok, malam lebaran, 13 Nopember 2004


Lebaran (3)
(- nyanyian seorang perantau)


Aku mencari-cari kampungku yang tenggelam
setelah laut pasang dan mengirim orang-orang
ke negeri asing: sebuah gua di balik bukit dengan fosil-fosil
orang mati dan daun-daun berguguran

Aku mencari-cari rumah yang menyimpan masa kecil
sekedar untuk rebahan, setelah lama tak pulang,
sambil membetulkan atap yang bocor, cat mengelupas
juga mencabut rumput-rumput di halaman

Aku mencari-cari perempuan yang dulu kerap datang
dalam sekian banyak mimpi, untuk sekedar berbagi
sambil mengutip rencana-rencana yang tak sampai
dan menghapus noktaf-noktaf kecil di keningnya

Aku mencari-cari laut setenang kolam
mengirim hawa biru ke dalam tubuhku yang kelelahan
laut yang selalu bikin aku ingin pulang
untuk berenang sambil bermain kecipak air seharian

Aku mencarimu: tetap saja lelaki-lelaki asing itu
yang kutemukan. Seperti sebuah karnaval,
mereka merayakan kematian demi kematian
aku pun menunda pulang

Depok, malam lebaran, 13 Nopember 2004

Analisis Puisi:

Puisi "Lebaran" karya Mustafa Ismail adalah serangkaian puisi yang menggambarkan perayaan Lebaran dari berbagai perspektif dan pengalaman pribadi. Puisi ini membedakan pengalaman Lebaran di kampung halaman, di kota besar, dan bagi seorang perantau, mengeksplorasi tema-tema seperti nostalgia, perpisahan, dan pencarian akan identitas.

Puisi "Lebaran (1) - elegi kampung halaman"

Puisi bagian pertama ini merayakan kehangatan dan kegembiraan Lebaran di kampung halaman. Mustafa Ismail menggunakan gambaran lilin-lilin berwarna di sepanjang pagar rumah untuk menciptakan suasana yang meriah dan penuh makna sejarah. Terdapat elemen-elemen tradisional seperti persiapan makanan oleh ibu dan kegembiraan bersama keluarga.

Namun, di balik kehangatan tersebut, terdapat juga refleksi atas kerinduan dan kehilangan, yang tercermin dalam pengalaman menjauh dari rumah dan ketidakpastian akan masa depan. Puisi ini mengeksplorasi tema keterpisahan dan kehilangan melalui gambaran malam yang gelap dan rasa nostalgia yang mendalam terhadap kampung halaman yang ditinggalkan.

Puisi "Lebaran (2) - ficer kota besar"

Puisi kedua mengeksplorasi pengalaman Lebaran di kota besar, dengan gambaran yang kontras terhadap kehangatan dan tradisi di kampung halaman. Di sini, Mustafa Ismail menciptakan suasana yang lebih dingin dan terpisah, di mana bayangan modernitas dan kepadatan kota menciptakan perasaan terasing dan kehilangan identitas.

Gambaran hujan dan angin yang tak henti mencerminkan kesendirian dan kesulitan dalam menemukan koneksi emosional dengan lingkungan yang berubah secara dramatis. Puisi ini menciptakan gambaran tentang kehilangan hubungan dengan alam dan identitas budaya yang lebih dalam.

Puisi "Lebaran (3) - nyanyian seorang perantau"

Puisi ketiga menggambarkan pengalaman Lebaran dari sudut pandang seorang perantau yang merindukan kampung halaman dan identitasnya yang hilang. Mustafa Ismail menggunakan metafora laut dan rumah yang bocor untuk mengeksplorasi tema pencarian akan akar dan masa lalu yang terkubur.

Di sini, perasaan kehilangan dan pencarian identitas sangat kuat, dengan perantau yang mencari-cari jejak masa kecil dan hubungan yang terputus. Puisi ini menyoroti perjuangan untuk mempertahankan hubungan dengan kampung halaman meskipun dalam keadaan yang sulit dan jauh.

Puisi "Lebaran" karya Mustafa Ismail menghadirkan serangkaian cerita yang mendalam tentang perayaan Lebaran dari berbagai perspektif. Dengan penggunaan gambaran alam dan detail-detail kehidupan sehari-hari, puisi-puisi ini menggambarkan kompleksitas emosi, kerinduan akan kampung halaman, dan perjuangan mempertahankan identitas dalam konteks globalisasi dan perubahan zaman.

Mustafa Ismail
Puisi: Lebaran
Karya: Mustafa Ismail

Biodata Mustafa Ismail:
  • Mustafa Ismail lahir pada tanggal 25 Agustus 1971 di Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.