Analisis Puisi:
Puisi "Isyarat Itukah, Ibu" karya AA Manggeng menghadirkan gambaran yang mendalam tentang kegundahan hati, kenangan masa kecil, dan perasaan rindu yang mendalam terhadap ibu.
Atmosfer Mendung dan Ketergesaan: Puisi dimulai dengan gambaran mendung yang memayungi jalan, menciptakan atmosfer yang melankolis dan penuh ketergesaan. Hal ini dapat diartikan sebagai representasi kegelapan yang melingkupi perasaan sang penulis.
Kenangan dan Hujan sebagai Pemisah Waktu: Kenangan masa kanak-kanak bersama ibu menjadi pusat perhatian dalam bait kedua. Meskipun lingkup kenangan mengajak pulang, hujan di terminal waktu menciptakan hambatan, mengisyaratkan bahwa waktu telah menjadi penghalang yang memisahkan penulis dari kenangan indah bersama ibu.
Rindu yang Mendalam dan Perubahan dalam Waktu: Penyair menyatakan bahwa rindunya di tempat ini melebihi gelisahnya. Jarang yang lalu telah merubahnya seperti perubahan rama-rama. Analogi ini menciptakan gambaran tentang transformasi dan perubahan yang mungkin terjadi dalam hidupnya setelah berpisah dari ibu.
Isyarat sebagai Pesan Mendalam: Penyair membawa konsep isyarat sebagai pesan mendalam. Penyair mencoba mengartikan isyarat ini, yang mungkin melebihi berita dukacita atau pengumuman lainnya. Keabadian kasih ibu dan pengaruhnya terhadap kehidupan sang penyair terasa kuat.
Ketuaan sebagai Buku dan Keabadian Kasih: Penyair membawa konsep ketuaan ibu sebagai buku. Buku ini bertuliskan keabadian kasih, menciptakan gambaran tentang bagaimana pengalaman dan kebijaksanaan ibu menjadi penuntun dalam hidup sang penyair.
Membangun Buku Baru dari Kenangan Bersama Ibu: Penyair menggambarkan upayanya dan generasi berikutnya (yang lahir dari rahim ibu) dalam menterjemahkan, menyusun, dan membangun buku baru dari kenangan bersama ibu. Hujan yang turun di pelataran terminal tua menciptakan gambaran akan proses yang melibatkan kedukaan dan perasaan kehilangan.
Secara keseluruhan, "Isyarat Itukah, Ibu" menciptakan lukisan emosional tentang hubungan antara waktu dan kenangan, dengan ibu sebagai sosok sentral yang membimbing, memberi makna, dan meninggalkan jejak keabadian kasih. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana waktu dan pengalaman membentuk dan merubah kita, tetapi juga bagaimana kenangan tercinta tetap hidup dalam hati kita.
Karya: AA Manggeng