Puisi: Merah Putih Genting (Karya Iyut Fitra)

Puisi "Merah Putih Genting" karya Iyut Fitra menggambarkan gambaran tentang sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan ....
Merah Putih Genting
(- 100 tahun Bung Hatta)

(Seratus lilin seperti tak redup. seratus tahun serasa kemaren
bung, inilah kisah tentang ranah)

Setapak tepian yang tertinggal, lembah lembab
barangkali angin pun masih setia, di sana dulu segala kau pesankan
tuah dan petitih, biduk dengan pendayung, sepancang tonggak
hingga geliat kibar bendera
maka di selaksa jejer pulau melati pun harumlah
lalu di setiap kolam-kolam teratai pun kembanglah
harumlah, kembanglah
indonesia, napas yang terpancang. menderap gegas memburu
arah baru
dan kau berdiri tepat di sisinya
meminang jejak sejarah, memainkan lagu waktu yang tak tersimak
sampai akhirnya kereta itu datang juga; ke digul, ke digul!
ke tempat di mana sepi ternyata tak berkutik
selain sesungging senyum, segelas teh panas dan kacang goreng
selebihnya mungkin jejak panjang tentang cinta yang hilang

Waktu yang tak bertekuk
musim terus tua
begitu segala tampak lelah dalam perguliran

Berapa kali kata terbingkai. berapa suluh yang telah menyala
dan negeri itu kini serupa tersia
kota-kota melumut

Benang-benang merah putih genting dari ujung ke ujung
mengusuti hari-hari debu. hari-hari penuh mesiu
“mengapa retak juga akhirnya cinta ini?
mengapa belah juga gemburnya tanah ini?”
di tanah kusir, tanah yang kau minta sendiri
mungkin kau dengar keluh orang-orang di jalan
di ranjang
di meja makan atau di tiang-tiang bendera yang tak kokoh
betapa perjalanan setelah tahun-tahun kesunyian
tampak seperti langkah-langkah luka
dan tua
karena di tiap tapal orang-orang berlomba mencuri demi nasib
sendiri-sendiri
dan kau di sana, adakah tengah menangis, atau sedang
belajar dansa

(Seratus lilin seperti tak redup. seratus tahun serasa kemaren
ah, bung. istirahat sajalah!)

Payakumbuh

Sumber: Dongeng-Dongeng Tua (2009)

Analisis Puisi:

Puisi "Merah Putih Genting" karya Iyut Fitra menggambarkan gambaran tentang sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Puisi ini mengekspresikan perasaan nostalgia, kesedihan, dan pertanyaan tentang masa lalu dan masa depan bangsa.

Kesetiaan terhadap Sejarah: Puisi ini menunjukkan kesetiaan terhadap sejarah dan perjuangan bangsa. Penggunaan kata-kata seperti "barangkali angin pun masih setia" dan "maka di selaksa jejer pulau melati pun harumlah" menunjukkan keyakinan bahwa meskipun waktu berlalu, semangat dan perjuangan bangsa tetap hidup dalam ingatan dan hati masyarakat.

Simbol Merah Putih: Simbol merah putih dalam puisi ini menggambarkan identitas dan semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Merah putih merupakan warna bendera Indonesia yang melambangkan semangat perjuangan dan kebangsaan.

Nostalgia dan Kelemahan: Puisi ini mencerminkan perasaan nostalgia dan kelemahan atas kondisi Indonesia saat ini. Penggunaan kalimat "Berapa kali kata terbingkai. berapa suluh yang telah menyala dan negeri itu kini serupa tersia kota-kota melumut" menunjukkan bahwa meskipun telah mengalami perjuangan besar dalam mencapai kemerdekaan, Indonesia tampak terlantar dan kehilangan semangat kebangsaannya.

Pertanyaan tentang Cinta dan Tanah Air: Beberapa baris puisi mengungkapkan pertanyaan tentang cinta dan tanah air. Pertanyaan "mengapa retak juga akhirnya cinta ini?" dan "mengapa belah juga gemburnya tanah ini?" mencerminkan ketidakpuasan dan kebingungan atas kondisi bangsa yang masih menghadapi berbagai masalah dan konflik.

Konflik dan Ambivalensi: Puisi ini mencerminkan ambivalensi perasaan penulis terhadap kondisi Indonesia. Meskipun menyimpan perasaan nostalgia dan cinta terhadap tanah air, puisi ini juga menunjukkan kekecewaan atas kondisi saat ini yang diwarnai oleh konflik dan ketidakstabilan.

Penutup dengan Pesan Penuh Harapan: Puisi ini ditutup dengan pesan penuh harapan yang terpancar dari kalimat "Seratus lilin seperti tak redup. seratus tahun serasa kemaren. ah, bung. istirahat sajalah!" Pesan ini menyiratkan harapan bahwa meskipun perjuangan bangsa belum sepenuhnya selesai, semangat dan semarak kemerdekaan tetap hidup dan terus berkobar.

Puisi "Merah Putih Genting" karya Iyut Fitra adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan semangat dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Puisi ini menyiratkan pesan tentang kesetiaan terhadap sejarah, identitas nasionalisme, nostalgia, dan ambivalensi perasaan terhadap kondisi bangsa saat ini. Meskipun menghadapi tantangan dan konflik, puisi ini ditutup dengan pesan penuh harapan bahwa semangat kemerdekaan akan tetap berkobar.

Iyut Fitra
Puisi: Merah Putih Genting
Karya: Iyut Fitra

Biodata Iyut Fitra:
  • Iyut Fitra (nama asli Zulfitra) lahir pada tanggal 16 Februari 1968 di Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.