Puisi: Bukankah Kita Bagian dari Tanah Gersang? (Karya Rini Intama)

Puisi "Bukankah Kita Bagian dari Tanah Gersang?" menyajikan sebuah refleksi mendalam mengenai kondisi manusia, hubungan dengan lingkungan, dan ...
Bukankah Kita Bagian dari Tanah Gersang?

Kita berkelakar dalam kelebat bayang yang tak tampak,
lalu terkecoh pada duka lara dan amarah yang rumit. 
Sedang pikiran menghantui ruh-ruh dari bumi yang mati.

Kita buka lembaran-lembaran kertas tahun lalu
Segala paradigma melelehkan helai-helai makna
Melupa mata air kearifan dan hakikat rasa
Kemana perginya angin?

Lalu di tepi rasamu yang sunyi
Kita eja bait-bait puisi  yang memanusiakan manusia
merenungi baris-baris doa dengan energi tanpa batas
dan memimpikan oase di tengah panas membakar

Ketidakseimbangan itu berakhir bumerang
Karena jiwa-jiwa dirundung cemas yang usang
Atas cinta-cinta yang akan pergi menghilang

Bukankah kita bagian dari tanah gersang?
Tetapi sesaat kemudian memusuhi maut yang siap menghadang.

Februari, 2011

Sumber: Gemulai Tarian Naz (2011)

Analisis Puisi:

Puisi "Bukankah Kita Bagian dari Tanah Gersang?" karya Rini Intama menyajikan sebuah refleksi mendalam mengenai kondisi manusia, hubungan dengan lingkungan, dan pencarian makna di tengah kesulitan. Melalui bahasa yang penuh nuansa dan metafora yang kuat, puisi ini mengeksplorasi tema-tema seperti kesadaran diri, pencarian makna, dan ketidakseimbangan dalam kehidupan.

Kelebat Bayang dan Duka Lara

Puisi dimulai dengan gambaran "Kita berkelakar dalam kelebat bayang yang tak tampak, / lalu terkecoh pada duka lara dan amarah yang rumit." Kalimat ini menciptakan citra tentang bagaimana manusia sering kali terjebak dalam kegelapan atau ketidakjelasan, berusaha mencari arti dalam kehidupan sambil menghadapi kesulitan dan emosi yang kompleks. "Pikiran menghantui ruh-ruh dari bumi yang mati" menunjukkan bahwa refleksi dan pikiran manusia dapat menghantui atau menambah berat beban yang sudah ada, bahkan melawan ketiadaan atau kekosongan yang mungkin dirasakan.

Lembaran Kertas dan Paradigma

Selanjutnya, "Kita buka lembaran-lembaran kertas tahun lalu / Segala paradigma melelehkan helai-helai makna" menggambarkan proses refleksi dan evaluasi terhadap masa lalu. "Melupa mata air kearifan dan hakikat rasa" menyiratkan bahwa dalam proses ini, kearifan dan makna mendalam sering kali terlupakan atau tidak dihargai. "Kemana perginya angin?" adalah sebuah pertanyaan retoris yang menandakan rasa kehilangan atau kekosongan, bertanya-tanya tentang arah dan perubahan yang hilang.

Puisi dan Doa

Di bagian berikutnya, "Lalu di tepi rasamu yang sunyi / Kita eja bait-bait puisi yang memanusiakan manusia" menunjukkan usaha untuk menemukan makna melalui puisi dan doa. Puisi, dalam konteks ini, berfungsi sebagai sarana untuk memahami kemanusiaan dan mendalami perasaan. "Merenungi baris-baris doa dengan energi tanpa batas / dan memimpikan oase di tengah panas membakar" menggambarkan pencarian akan kedamaian dan kesegaran di tengah kondisi yang sulit dan penuh tekanan.

Ketidakseimbangan dan Cemas

"Ketidakseimbangan itu berakhir bumerang / Karena jiwa-jiwa dirundung cemas yang usang" menggambarkan bagaimana ketidakseimbangan dalam hidup dapat mengakibatkan dampak negatif yang kembali menghantui. Ketidakseimbangan ini mempengaruhi keadaan jiwa dan menciptakan kecemasan yang terus-menerus. "Atas cinta-cinta yang akan pergi menghilang" menandakan bahwa cinta dan hubungan mungkin tidak bertahan, meninggalkan kekosongan dan rasa kehilangan.

Tanah Gersang dan Maut

Bagian akhir puisi, "Bukankah kita bagian dari tanah gersang? / Tetapi sesaat kemudian memusuhi maut yang siap menghadang," adalah refleksi tentang kondisi manusia yang mungkin merasa seperti bagian dari tanah yang kering dan tidak produktif. Namun, di tengah kekeringan tersebut, manusia tetap melawan kematian atau menghadapi ancaman yang ada, menunjukkan sebuah paradoks dalam eksistensi manusia—merasa tidak berguna tetapi tetap berjuang melawan akhir.

Puisi "Bukankah Kita Bagian dari Tanah Gersang?" karya Rini Intama adalah sebuah karya yang penuh dengan refleksi dan simbolisme. Melalui gambaran tentang kelebat bayang, duka, dan pencarian makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi manusia dan hubungan mereka dengan lingkungan serta diri sendiri. Dengan menggunakan metafora yang mendalam, Intama mengeksplorasi tema-tema seperti pencarian makna, ketidakseimbangan hidup, dan perjuangan melawan kematian, menciptakan sebuah refleksi yang kompleks dan memprovokasi pemikiran tentang eksistensi dan kondisi manusia.

Rini Intama
Puisi: Bukankah Kita Bagian dari Tanah Gersang?
Karya: Rini Intama

Biodata Rini Intama:
    Rini Intama lahir pada tanggal 21 Februari di Garut, Jawa Barat. Namanya tercatat dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017).

    Anda mungkin menyukai postingan ini

    • Kemaraurumput menangisi tanah kerontangdan kelopak mawar yang mulai berjatuhanyang tak lagi menyimpan embun.Padahal telah aku lewatibuih-buih ombak sepanjang pesisirhingga sela kak…
    • KhilafAkulah si pemuja yang memuja bicaralah tentang khilafseperti kerikil di tepi jalan yang terinjak kepongahan kotaruangku tiba-tiba saja pengap...mata tak lekang menatap buas b…
    • Taman BungaAda butiran tasbih hingga rindu-rindu yang kau kirimdan butiran bening air mata jatuh harulalu kita tertawa saat gerbang taman menebar wewangi bungakarena di sana cerita…
    • Kenangkenang, di ujung senja dalam lingkarankata merajuk rindu penuh kecemasankenang, di ujung malam dalam wangihasrat merujuk penuh takjubkenang, di ujung hari dalam penantianmeng…
    • Wajah Ayu Ibuku Bias cahaya dan renungan yang kubaca di atas batu tentang wajah ayu ibuku ada garis warna dan sunyi pada lagu ketika kanak-kanak…
    • Menuju RanupaniTumpang, Gubug klakah dan apel hijauMenawari sepinggan cintaYang ingin kubawa pulangFebruari, 2011Sumber: Gemulai Tarian Naz (2011)Analisis Puisi:Puisi "Menuju …
    © 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.