Puisi: Takengon 29 Ribu Kaki (Karya Fikar W. Eda)

Puisi "Takengon 29 Ribu Kaki" menyampaikan pesan tentang kontras antara keindahan alam dan kesengsaraan sosial.
Takengon 29 Ribu Kaki

Dari ketinggian 29 ribu kaki
dari jendela kanan Garuda yang bening
Takengon terhampar
di antara lekuk bukit
dan gunung-gunung
sapuan awan tipis
menutupi kumpulan atap rumah putih
memantulkan cahaya pagi
hutan hijau
lapis berlapis
begitu anggunnya

Dari ketinggian 29 ribu kaki
Laut Tawar persis sebuah kolam
permukaan tenang
di atasnya perahu nelayan
seukuran anak korek api
agak ke kiri
lapangan Pacu Kuda
dalam lengkung kuali
dengan warna coklat tanah
di kejauhan
landasan Rembele
membentuk garis lintang
dengan sisi-sisinya yang lengang
pucuk Burni Telong
mengapung dari genangan awan
di bawahnya merentang lintas kecil
kelok berkelok menyusur lembah

Takengon baru saja pulih
dari api tikai
namun dimiskinkan
oleh rentenir kopi
aku endapkan sengsara petani Takengon
sampai Garuda merapatkan tubuh
di Blang Bintang.

Jakarta-Banda Aceh, 4 Agustus 2006

Analisis Puisi:

Puisi "Takengon 29 Ribu Kaki" karya Fikar W. Eda adalah sebuah karya yang memadukan keindahan alam dengan realitas sosial yang menyentuh. Melalui puisi ini, Eda menghadirkan pemandangan alam dari ketinggian yang menakjubkan, namun juga mengangkat isu kesengsaraan yang dialami masyarakat Takengon, yang terjepit antara keindahan dan penderitaan.

Tema

  • Keindahan Alam vs. Kesengsaraan Sosial: Tema utama puisi ini adalah kontras antara keindahan alam yang mengagumkan dan kesengsaraan sosial yang dialami oleh masyarakat. Eda menggambarkan keindahan Takengon dari ketinggian pesawat terbang, menunjukkan betapa anggunnya daerah tersebut, namun juga mencatat bagaimana masyarakatnya tertekan oleh berbagai masalah, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan eksploitasi.
  • Eksploitasi dan Kemiskinan: Puisi ini juga menyentuh tema eksploitasi dan kemiskinan, khususnya yang berkaitan dengan industri kopi. Eda mengkritik bagaimana masyarakat Takengon, yang sebelumnya telah pulih dari bencana, kini terjebak dalam siklus kemiskinan akibat rentenir kopi yang mengambil keuntungan dari situasi mereka.

Bait Pertama: Keindahan Alam

Dari ketinggian 29 ribu kaki
dari jendela kanan Garuda yang bening
Takengon terhampar
di antara lekuk bukit
dan gunung-gunung
sapuan awan tipis
menutupi kumpulan atap rumah putih
memantulkan cahaya pagi
hutan hijau
lapis berlapis
begitu anggunnya

Bait ini menggambarkan pemandangan alam Takengon dari ketinggian yang menakjubkan. Eda menggunakan bahasa yang deskriptif untuk menunjukkan keindahan alam Takengon yang terbentang di bawahnya, dengan detail yang memperlihatkan keanggunan dan kedamaian yang terlihat dari jendela pesawat.

Bait Kedua: Pemandangan yang Menawan

Dari ketinggian 29 ribu kaki
Laut Tawar persis sebuah kolam
permukaan tenang
di atasnya perahu nelayan
seukuran anak korek api
agak ke kiri
lapangan Pacu Kuda
dalam lengkung kuali
dengan warna coklat tanah
di kejauhan
landasan Rembele
membentuk garis lintang
dengan sisi-sisinya yang lengang
pucuk Burni Telong
mengapung dari genangan awan
di bawahnya merentang lintas kecil
kelok berkelok menyusur lembah

Bait ini melanjutkan deskripsi pemandangan dengan detail yang lebih spesifik, termasuk Laut Tawar, lapangan Pacu Kuda, dan berbagai fitur geografis lainnya. Penulis menunjukkan bagaimana setiap elemen alam terlihat menawan dan teratur dari ketinggian.

Bait Ketiga: Realitas Sosial dan Kritik

Takengon baru saja pulih
dari api tikai
namun dimiskinkan
oleh rentenir kopi
aku endapkan sengsara petani Takengon
sampai Garuda merapatkan tubuh
di Blang Bintang.

Bait ini beralih dari deskripsi pemandangan ke realitas sosial yang lebih gelap. Eda menyebutkan bahwa meskipun Takengon baru saja pulih dari bencana api, masyarakatnya masih menderita karena eksploitasi oleh rentenir kopi. Penulis menyampaikan rasa kepedihan dan kesedihan terhadap kondisi petani yang terjepit oleh sistem ekonomi yang tidak adil.

Gaya dan Struktur

  • Gaya Bahasa: Gaya bahasa puisi ini adalah deskriptif dan reflektif. Eda menggunakan bahasa yang penuh warna dan detail untuk menggambarkan pemandangan alam, sementara juga memasukkan elemen kritik sosial untuk menunjukkan ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat Takengon. Gaya ini membantu menciptakan kontras yang kuat antara keindahan dan penderitaan.
  • Struktur dan Alur: Puisi ini memiliki struktur yang bebas dengan alur yang mengalir dari deskripsi pemandangan ke refleksi tentang kondisi sosial. Struktur ini memungkinkan penulis untuk mengeksplorasi berbagai aspek Takengon secara menyeluruh, dari keindahan alam hingga realitas sosial yang suram. Alur yang mengalir ini mencerminkan perubahan perspektif yang tiba-tiba dari keindahan ke kesedihan.

Makna dan Pesan

Puisi "Takengon 29 Ribu Kaki" menyampaikan pesan tentang kontras antara keindahan alam dan kesengsaraan sosial. Dengan menggambarkan keindahan Takengon dari ketinggian dan mengaitkannya dengan penderitaan masyarakat akibat eksploitasi ekonomi, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana keindahan alam dan kondisi sosial sering kali tidak sejalan. Pesan utama puisi ini adalah perlunya perhatian dan tindakan untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang terpinggirkan, meskipun mereka dikelilingi oleh keindahan alam.

Puisi "Takengon 29 Ribu Kaki" karya Fikar W. Eda adalah sebuah karya yang menggambarkan kontras yang tajam antara keindahan alam dan kesengsaraan sosial. Dengan gaya bahasa yang deskriptif dan reflektif serta struktur yang bebas, puisi ini mengundang pembaca untuk merenung tentang kondisi masyarakat yang tertekan oleh sistem ekonomi yang tidak adil. Pesan utama puisi ini adalah perlunya kesadaran dan tindakan untuk mengatasi ketidakadilan dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat, meskipun keindahan alam di sekeliling mereka.

Fikar W. Eda
Puisi: Takengon 29 Ribu Kaki
Karya: Fikar W. Eda

Biodata Fikar W. Eda:
  • Fikar W. Eda lahir pada tanggal 8 Mei 1966 di Takengon, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.