Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sayonara di Gurun Koteka (Karya D. Kemalawati)

Puisi “Sayonara di Gurun Koteka” bercerita tentang konfrontasi antara sosok pribumi Papua (diwakili oleh lelaki bersarung koteka yang mengokang ...
Sayonara di Gurun Koteka

Lelaki bersarung koteka mengokang senjata
lelaki mata biru terpana
lubang menganga di dadanya
gagap dunia mengirim tanya.

Bahari Ekspres, 30 Desember 2010

Analisis Puisi:

Puisi “Sayonara di Gurun Koteka” karya D. Kemalawati adalah karya pendek namun sarat muatan simbolik dan politis. Dalam empat baris yang padat, penyair menyampaikan satu dunia konflik, keterpanaan, dan absurditas kekuasaan yang tiba-tiba runtuh. Puisi ini seperti tembakan tunggal: tajam, cepat, mengejutkan, namun meninggalkan gema panjang dalam kesadaran pembaca.

Tema

Puisi ini mengangkat tema perlawanan terhadap dominasi asing serta ironi dalam ketimpangan kekuasaan dan identitas. Dengan menggambarkan pertemuan dua sosok dari dunia yang kontras—“lelaki bersarung koteka” dan “lelaki mata biru”—penyair menyuarakan ketegangan antara penjajah dan pribumi, antara teknologi dan tradisi, antara superioritas simbolik dan kekuatan akar rumput.

Puisi ini bercerita tentang konfrontasi antara sosok pribumi Papua (diwakili oleh lelaki bersarung koteka yang mengokang senjata) dan seorang asing (digambarkan sebagai “lelaki mata biru”) yang mengalami kekalahan mendadak (“lubang menganga di dadanya”). Dalam satu adegan yang sangat sinematik, penyair menggambarkan pembalikan kuasa: yang biasanya lemah, terpinggirkan, dan dianggap primitif justru menjadi pelaku yang menentukan. Dunia pun dibuat terkejut—“gagap dunia mengirim tanya”—seolah tak percaya bahwa yang dianggap lemah mampu melakukan hal sebesar itu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat politis dan reflektif. Penyair hendak menyampaikan bahwa kekuatan tidak selalu berada di tangan mereka yang berpenampilan modern, berteknologi canggih, atau berkulit terang. Justru kekuatan sejati bisa muncul dari tempat yang tidak terduga—dari mereka yang selama ini diremehkan.

Puisi ini juga menyiratkan kritik terhadap cara dunia memandang masyarakat adat atau kaum terpinggirkan. Ketika seorang pria bersarung koteka—simbol tradisionalisme Papua—mengalahkan atau melawan seorang “lelaki mata biru”—simbol kolonialisme atau dominasi global—dunia tidak siap menerima kenyataan itu. Mereka “gagap”, tidak tahu harus memberi respon seperti apa.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini bisa digambarkan sebagai menegangkan, mengejutkan, sekaligus menggugah. Ada tekanan mendadak dalam narasi, seolah dunia yang teratur dan hierarkis tiba-tiba terbalik. Kejutan terjadi bukan hanya bagi tokoh “mata biru” dalam puisi, tetapi juga bagi pembaca dan dunia itu sendiri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa kedaulatan dan harga diri suatu bangsa atau kelompok tidak bisa diukur dari penampilan luarnya semata. Setiap manusia, termasuk mereka yang hidup dalam budaya tradisional, memiliki potensi untuk melawan penindasan dan menunjukkan eksistensinya. Puisi ini mengajak pembaca untuk menghormati keberagaman budaya, tidak meremehkan siapapun, dan merenungkan bagaimana sejarah, dominasi, serta stereotip telah membentuk persepsi kita terhadap kekuatan dan kelemahan.

Imaji

Puisi ini mengandung imaji yang sangat kuat dan kontras:
  • Imaji visual: “Lelaki bersarung koteka mengokang senjata” adalah pemandangan yang mencolok—penggabungan antara kesederhanaan budaya dengan tindakan militer yang kuat.
  • Imaji dramatis: “Lubang menganga di dadanya” menegaskan kekerasan dan hasil dari konfrontasi tersebut secara konkret.
  • Imaji reflektif: “Gagap dunia mengirim tanya” menunjukkan bagaimana peristiwa ini menimbulkan keheranan mendalam secara global.
Semua imaji ini bekerja saling menguatkan untuk membangun kejutan dan pertanyaan besar dalam pikiran pembaca.

Majas

Puisi ini memanfaatkan beberapa majas penting:
  • Paradoks: Ada pertentangan antara yang tampak lemah (pribumi bersarung koteka) dan tindakan agresif (mengokang senjata). Ini mengungkap kekuatan di balik simbol kelemahan.
  • Ironi: Dunia justru “gagap” ketika pihak yang selama ini dianggap primitif mampu melawan. Ini sindiran terhadap anggapan superioritas peradaban tertentu.
  • Simbolisme: “Koteka” adalah simbol budaya asli Papua, sementara “mata biru” menyimbolkan dominasi barat/asing. Keduanya menyiratkan lebih dari makna literal.
  • Metonimia: “Mata biru” mewakili bangsa asing atau penjajah, bukan sekadar warna mata seseorang.
Puisi “Sayonara di Gurun Koteka” adalah puisi pendek namun penuh makna dan ketajaman simbolik. D. Kemalawati menghadirkan narasi perlawanan, pembalikan kekuasaan, dan kritik terhadap pandangan dunia terhadap budaya dan kekuatan. Lewat imaji kuat dan permainan simbol yang cermat, puisi ini mengingatkan kita bahwa kekuatan dan perlawanan bisa datang dari mereka yang paling diremehkan—dan dunia harus belajar menghargai kekuatan dari segala sisi, bukan hanya dari yang tampak dominan.

D. Kemalawati
Puisi: Sayonara di Gurun Koteka
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.