Analisis Puisi:
Puisi “Menunggu” karya Mustiar AR menampilkan sebuah realitas yang sederhana namun menggigit—sebuah penggambaran hidup manusia yang seolah tersandera oleh waktu dan harapan. Dengan cara yang jenaka namun getir, Mustiar AR mengajak pembaca untuk merenungi hakikat dari “menunggu” dalam keseharian manusia modern.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah penantian dalam kehidupan sehari-hari. Mustiar AR menangkap realitas sosial di sekitar kita dengan cara yang sangat jeli. Dari hal-hal yang lumrah seperti menunggu gaji hingga yang lebih eksistensial seperti menunggu kelahiran, puisi ini menyiratkan bahwa hidup manusia dipenuhi oleh penantian yang tiada henti.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini jauh lebih dalam daripada sekadar aktivitas menunggu. Mustiar AR seakan ingin menyampaikan bahwa manusia kerap terjebak dalam sistem sosial dan struktur kehidupan yang membuat mereka pasif—menunggu sesuatu terjadi tanpa kuasa untuk mempercepat atau mengubahnya. Bahkan pada bait terakhir, penyair menyelipkan kritik politik dengan menyebut “para balon pimpinan” yang menunggu hasil pemilihan, dan sarkasme dalam frasa “masuk rumah sakit jiwa bumi” sebagai bentuk kekesalan atas kekacauan sistem sosial-politik.
Puisi ini bercerita tentang kehidupan masyarakat yang dipenuhi dengan penantian, baik yang bersifat rutin seperti menunggu gaji dan pekerjaan, maupun yang bersifat psikologis dan eksistensial seperti menunggu hasil pemilu atau masa depan yang lebih baik. Penantian-penantian tersebut menjadi semacam benang merah dalam kehidupan manusia modern.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini bersifat satiris dan reflektif. Meskipun penyampaiannya cenderung santai dan penuh ironi, namun di balik itu terkandung kegeraman dan kegetiran atas nasib banyak orang yang hidupnya hanya dijalani dari satu penantian ke penantian lain.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah ajakan kepada pembaca untuk merenung dan menyadari betapa hidup bisa terbuang sia-sia hanya karena menunggu tanpa berbuat apa-apa. Mustiar AR mengajak pembaca untuk tidak sekadar pasrah, melainkan mulai mengubah pola hidup yang hanya berkutat pada penantian menuju kehidupan yang lebih aktif dan sadar.
Imaji
Puisi ini menggunakan imaji yang bersifat visual dan sosial. Contohnya pada bait:
“Juru parkir menunggu duit parkir dibayar / PNS menunggu akhir bulan terima gaji”
Pembaca dapat dengan mudah membayangkan situasi tersebut dalam keseharian mereka. Imaji sosial ini menciptakan kedekatan antara pembaca dan realitas puisi yang dibangun penyair.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: Frasa “duduk di jagat raya” adalah metafora dari seseorang yang sedang merenungi kehidupan secara luas.
- Ironi: “Menunggu menang atau kalah / atau masuk rumah sakit jiwa bumi” merupakan ironi terhadap kondisi mental dan tekanan yang dihadapi calon pemimpin dalam dunia politik.
- Repetisi: Kata “menunggu” diulang dalam hampir setiap baris sebagai bentuk penegasan tema utama.
- Hiperbola: Penggambaran semua kalangan dari juru parkir hingga calon pemimpin yang sedang menunggu menciptakan efek dramatis tentang skala besar dari aktivitas menunggu ini.
Puisi “Menunggu” karya Mustiar AR merupakan refleksi sosial yang dikemas secara sederhana namun tajam. Dengan menggunakan gaya bahasa yang lugas, penyair berhasil menyampaikan kritik terhadap kehidupan yang seolah hanya dijalani dalam penantian terus-menerus. Tema yang kuat, imaji yang dekat dengan keseharian, serta penggunaan majas yang efektif menjadikan puisi ini bukan sekadar curahan perasaan, tetapi juga bahan renungan yang dalam bagi siapa pun yang membacanya.
Puisi ini seolah berkata: “Apakah kita memang ditakdirkan untuk hanya menunggu, atau seharusnya mulai bergerak untuk mengubah nasib?”
Karya: Mustiar AR