Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Memolita Pantai (Karya Mustafa Ismail)

Puisi "Memolita Pantai" karya Mustafa Ismail bercerita tentang sepasang insan yang pernah melewati perjalanan penuh kenangan di tepi pantai, ...
Memolita Pantai

Mungkin sore itulah terakhir kita menelusuri pantai itu
berangkat dari dermaga ketika matahari akan terbenam
ada hawa aneh: adakah kau lihat sebatang pohon tumbuh
di langit?

Kita kemalaman sampai di rumah. Entah berapa mil,
jarak yang tidak singkat, kita habiskan sekali pandang
malam makin membuat kita lupa
dan tergoda

Setelah itu kita memilin waktu, sambil menyaksikan laut
yang terpenjara, mengais-ngais cinta dalam tidur
ada pulau yang terbelah, laut segera membentang
milik siapakah?

Dan kini, kita hanya menyaksikan perjalanan itu
dalam buku-buku bisu, tak ada lagi yang bercakap-cakap
apalagi bersenda gurau
di luar ada yang menangis, hidup siapakah yang berakhir

Kabut berarak, dan pantai itu menjadi gaib
tempat cinta menjadi batu nisan, dingin dan gelisah
bersama air mata yang terus memancur
menjadi sungai dalam hati kita.

Lhokseumawe, 1996 - Jakarta 2002

Sumber: Tarian Cermin (2007)

Analisis Puisi:

Puisi "Memolita Pantai" karya Mustafa Ismail menghadirkan panorama perjalanan batin yang sarat dengan simbol-simbol alam, kerinduan, dan kesedihan. Penyair menggunakan pantai, laut, pohon, dan kabut sebagai metafora yang membingkai kisah cinta yang akhirnya berubah menjadi kenangan yang membeku. Dengan pilihan diksi yang penuh perenungan, puisi ini memunculkan kesan lirih dan mendalam.

Tema

Tema utama puisi Memolita Pantai adalah cinta yang berakhir dalam kehilangan. Pantai dan perjalanan sore hari menjadi latar simbolik yang menandai sebuah kenangan, namun akhirnya semua itu hanya tinggal jejak di dalam buku-buku bisu, tak lagi hidup dalam percakapan nyata. Puisi ini juga menyinggung persoalan kefanaan manusia, waktu yang tak bisa diputar kembali, dan bagaimana cinta dapat berubah menjadi duka.

Secara garis besar, puisi ini bercerita tentang sepasang insan yang pernah melewati perjalanan penuh kenangan di tepi pantai, menyaksikan matahari terbenam, larut dalam keintiman, namun pada akhirnya hanya tersisa kenangan pahit. Perjalanan itu menjadi simbol hidup: mula-mula penuh harapan dan kebersamaan, lalu berakhir pada kehilangan dan keheningan.

Bagian akhir puisi menggambarkan cinta yang “menjadi batu nisan” — sebuah metafora kuat bahwa kisah indah telah mati dan hanya tersisa rasa dingin serta kesedihan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah tentang ketidakabadian cinta dan kefanaan hidup. Cinta, betapapun indahnya, bisa terhenti oleh waktu, jarak, bahkan kematian. Pantai, laut, dan kabut adalah representasi kehidupan yang terus bergerak, sementara manusia sering kali hanya bisa menyimpan kenangan dalam hati.

Ada juga pesan eksistensial: hidup manusia ibarat perjalanan di pantai, penuh pertemuan dan perpisahan, namun pada akhirnya semua akan sirna, meninggalkan duka dan air mata.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, sendu, dan penuh kerinduan. Pada awalnya ada sedikit nuansa romantis ketika “berangkat dari dermaga saat matahari terbenam”, tetapi perlahan suasana berubah menjadi muram, penuh kehilangan, hingga mencapai puncaknya ketika cinta disimbolkan sebagai batu nisan yang dingin.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa cinta dan kehidupan memiliki batas yang tak bisa dielakkan. Waktu terus berjalan, kenangan mungkin abadi di dalam hati, namun realitas akan tetap membawa perpisahan. Maka, manusia diajak untuk menghargai setiap momen, menyadari bahwa kebersamaan tidak akan berlangsung selamanya.

Imaji

Mustafa Ismail membangun puisi ini dengan imaji yang kuat, terutama imaji visual dan imaji perasaan.
  • Imaji visual: “matahari akan terbenam”, “kabut berarak”, “pantai itu menjadi gaib” — menghadirkan suasana senja dan kabut yang mendukung nuansa kehilangan.
  • Imaji perasaan: “tempat cinta menjadi batu nisan, dingin dan gelisah” — menghadirkan kesedihan mendalam yang dirasakan pembicara lirik.

Majas

Beberapa majas yang digunakan antara lain:
  • Metafora – “tempat cinta menjadi batu nisan” melambangkan berakhirnya hubungan cinta.
  • Personifikasi – “laut yang terpenjara” memberikan sifat manusia pada laut, seolah-olah ia terkekang.
  • Hiperbola – “mencabut matahari dari orbitnya” (dari puisi sebelumnya karya Mustafa, tapi di sini pun nuansa hiperbolis hadir) terlihat dalam “air mata yang terus memancur menjadi sungai dalam hati kita”.
  • Simbolisme – pantai, kabut, dan pohon yang tumbuh di langit menjadi simbol perjalanan hidup, misteri, dan keterputusan.
Puisi "Memolita Pantai" karya Mustafa Ismail adalah sebuah elegi yang menyingkap kepedihan dalam cinta dan hidup. Melalui simbol-simbol alam yang kuat, penyair mengajak pembaca merenungkan perjalanan manusia: bagaimana kebahagiaan bisa berubah menjadi duka, dan bagaimana kenangan akhirnya hanya tersisa dalam kesepian.

Mustafa Ismail
Puisi: Memolita Pantai
Karya: Mustafa Ismail

Biodata Mustafa Ismail:
  • Mustafa Ismail lahir pada tanggal 25 Agustus 1971 di Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.