Puisi: Mata Api Matamu (Karya D. Kemalawati)

Puisi Mata Api Matamu tidak hanya menggambarkan cinta dan kehilangan, tetapi juga perjalanan menuju penerimaan. Melalui citra yang kuat dan ...
Mata Api Matamu

Aku tak peduli lagi kata-katamu
kau sendu tatkala gerimis dan bulan
jatuh di dermaga, di atas riak kerudungku
di derai angin layu
kelak kala gelap malam
kau bakar asaku
di antara daun kering

Kau giring abu ke palung sunyi
agar aku tak berlari ke dekapmu yang api
sejak kutahu bagaimana mata angin
begitu mudah kau mainkan
aku pagari lingkaran mata
agar tak menjadi muara
dan setitik asin yang garam
tak mengurai nestapa

Sekian lama kau mengeram petir untukku
setiap kilat membias cahaya
aku menjadi batu, mengeras
dalam beku tatapmu
tak mampu kueja ayat-ayat bunga
sebagai mantra wangi dan manja
kini, kesenduan telah jadi biasa
garangmu percuma.

Banda Aceh, 17 Maret 2015

Analisis Puisi:

Puisi Mata Api Matamu karya D. Kemalawati menyajikan eksplorasi emosi yang mendalam dan kompleks. Dalam puisi ini, penyair menyentuh tema cinta yang penuh ambivalensi, keputusasaan, dan pertarungan batin. Melalui penggunaan citra yang kuat dan bahasa yang puitis, Kemalawati membawa pembaca untuk merasakan perjalanan emosional tokoh puisi.

Konflik Emosional

Pembukaan puisi yang menegaskan, “Aku tak peduli lagi kata-katamu,” menunjukkan sikap penolakan terhadap komunikasi yang tidak berarti. Sikap ini mengisyaratkan konflik emosional yang mendalam. Penolakan terhadap kata-kata pasangan menggambarkan kekecewaan yang menyakitkan. Penggunaan ungkapan “kau sendu tatkala gerimis dan bulan” menciptakan nuansa melankolis yang menyelimuti suasana.

Simbolisme Alam

Kemalawati dengan cerdas memanfaatkan elemen alam untuk menciptakan gambaran yang kuat. “jatuh di dermaga, di atas riak kerudungku di derai angin layu” melambangkan keadaan yang tenang tetapi sarat dengan ketidakpastian. Dermaga sebagai tempat pertemuan dan perpisahan memberikan konteks yang mendalam tentang relasi yang telah hilang. Selain itu, penggunaan simbol seperti “daun kering” dan “abu” menggambarkan keputusasaan dan kebangkitan yang hilang.

Penggambaran Api dan Asap

Gambaran “kau bakar asaku” dan “giring abu ke palung sunyi” menunjukkan kehampaan yang dialami tokoh puisi. Api di sini melambangkan harapan yang terbakar, sementara abu menjadi simbol dari sesuatu yang hilang. Penyair menggambarkan rasa sakit dan kerinduan yang tidak terbalas, menciptakan suasana yang melankolis dan mencekam.

Kekuatan Mata dan Pandangan

Dalam puisi ini, mata menjadi elemen penting. Penggambaran “aku pagari lingkaran mata agar tak menjadi muara” menunjukkan upaya untuk melindungi diri dari rasa sakit yang lebih dalam. Mata yang menjadi simbol penglihatan dan pemahaman menunjukkan ketidakberdayaan ketika menghadapi emosi yang kuat. Ketidakmampuan untuk memahami “ayat-ayat bunga” mencerminkan kerinduan dan kerentanan yang dialami.

Kebangkitan dari Kesedihan

Di akhir puisi, pernyataan “kini, kesenduan telah jadi biasa” menandakan penerimaan terhadap situasi yang menyakitkan. Tokoh puisi telah terbiasa dengan kesedihan dan mengakui bahwa kemarahan pasangan tidak lagi berpengaruh. Dengan ini, D. Kemalawati menciptakan sebuah perjalanan emosional yang menggambarkan bagaimana seseorang bisa beradaptasi dan bertahan dalam situasi yang sulit.

Puisi Mata Api Matamu tidak hanya menggambarkan cinta dan kehilangan, tetapi juga perjalanan menuju penerimaan. Melalui citra yang kuat dan penggambaran emosi yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna cinta dan pengorbanan. D. Kemalawati berhasil menyampaikan pesan yang dalam tentang kehidupan dan perasaan, memberikan ruang untuk refleksi bagi setiap pembaca.

D. Kemalawati
Puisi: Mata Api Matamu
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.