Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Malam Jahanam (Karya Mustiar AR)

Puisi “Malam Jahanam” karya Mustiar AR bercerita tentang seseorang yang larut dalam kegelapan malam—baik secara harfiah maupun metaforis—dan ...
Malam Jahanam

Malam kelam
Tiba-tiba
Menjulur lidah merayu bintang
Berselingkuh dalam mimpi
Di antara desau angin menari bersama daun aru

Malam kelam
Dia gagu keciprak air selokan bau

Ibu, maafkan ananda
Surga itu kutukar dengan jus jeruk
Tiba-tiba.

Meulaboh, 9 Maret 2018

Analisis Puisi:

Puisi “Malam Jahanam” karya Mustiar AR adalah karya yang pendek namun sarat makna. Melalui larik-larik puitis yang terkesan surealis dan simbolik, penyair menciptakan suasana kelam dan getir yang menggambarkan krisis eksistensial. Kata-kata seperti “menjulur lidah merayu bintang” hingga “Surga itu kutukar dengan jus jeruk” memberikan pukulan batin yang mengejutkan, sekaligus menggugah pembaca untuk merenungi makna hidup, dosa, dan pertobatan.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah kejatuhan moral dan kesadaran akan dosa, dengan sentuhan eksistensial dan spiritual. Ada pula subtema tentang pengkhianatan terhadap nilai luhur, serta konflik batin antara hawa nafsu dan harapan akan ampunan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat dalam. Frasa “Surga itu kutukar dengan jus jeruk” adalah simbol utama dari ironi besar: manusia rela mengorbankan sesuatu yang abadi dan suci demi kesenangan sesaat yang sepele. Jus jeruk menjadi metafora dari godaan duniawi, hal-hal remeh yang membuat manusia tergelincir dan “menjual” nilai-nilai keabadian demi kenikmatan fana.

Begitu pula “menjulur lidah merayu bintang”—ungkapan ini menyiratkan rayuan atau tipu daya yang menjangkau bahkan hal-hal suci dan jauh seperti bintang. Ia bisa dibaca sebagai perwujudan hawa nafsu yang mencoba menggoda sesuatu yang tak tersentuh.

Puisi ini menyingkap perjuangan batin antara kegelapan dan nurani, di mana tokoh dalam puisi akhirnya menyadari kekeliruannya—terlihat dari ungkapan: “Ibu, maafkan ananda”, yang menandakan penyesalan mendalam terhadap kesalahan yang sudah dilakukan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang larut dalam kegelapan malam—baik secara harfiah maupun metaforis—dan mengalami kehancuran spiritual karena memilih kesenangan sesaat dibanding nilai yang lebih tinggi. Sosok “aku” dalam puisi tampak menyesal telah meninggalkan nilai luhur (digambarkan sebagai “surga”) demi sesuatu yang remeh dan fana.

Narasi puisi ini tidak linear, melainkan bersifat kilasan perasaan dan suasana batin. Ia dimulai dengan malam yang “kelam”, lalu menyusup ke gambaran mimpi, godaan, kebisuan, dan akhirnya berujung pada permintaan maaf kepada sang ibu, yang kemungkinan juga merupakan simbol dari kehangatan, kasih, dan moralitas.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi sangat gelap, mencekam, dan getir. Ada rasa sesal yang mendalam dan kesunyian yang penuh luka. Malam bukan hanya latar waktu, melainkan juga simbol dari keterasingan batin, keterpurukan moral, dan kondisi spiritual yang rusak.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah:
  • Jangan tukar nilai luhur dan kebahagiaan abadi dengan kesenangan duniawi yang sementara.
  • Kehidupan selalu menawarkan pilihan antara jalan terang dan jalan gelap, dan manusia bebas memilih. Namun, setiap pilihan memiliki konsekuensinya. Puisi ini mengajarkan kesadaran akan dosa, pentingnya pertobatan, dan nilai kejujuran terhadap diri sendiri.

Imaji

Puisi ini mengandung banyak imaji visual dan penciuman, antara lain:
  • “Malam kelam”: menimbulkan imaji visual akan suasana gelap dan sunyi.
  • “Menjulur lidah merayu bintang”: imaji yang sangat surealis, membentuk bayangan liar tentang malam yang menggoda kemurnian langit.
  • “Desau angin menari bersama daun aru”: menghadirkan imaji gerakan lembut alam, menciptakan suasana misterius.
  • “Keciprak air selokan bau”: imaji penciuman dan pendengaran yang memperkuat kesan jorok, hina, dan keterpurukan.

Majas

Puisi ini mengandalkan beberapa majas utama:

Personifikasi:
  • “Malam… menjulur lidah merayu bintang”: malam digambarkan seolah makhluk hidup yang bisa merayu.
Metafora:
  • “Surga itu kutukar dengan jus jeruk”: metafora utama yang menggambarkan pertukaran nilai luhur dengan kenikmatan sepele.
Repetisi:
  • Pengulangan frase “Malam kelam” mempertegas tema dan suasana yang mendominasi puisi.
Ironi:
  • Pertukaran surga dengan “jus jeruk” menyiratkan ironi tajam, di mana sesuatu yang sangat berharga ditukar dengan hal yang sangat sepele.
Hiperbola:
  • “Menjulur lidah merayu bintang” dapat dilihat sebagai bentuk penggambaran yang dilebih-lebihkan demi memperkuat kesan dan makna.
Puisi “Malam Jahanam” karya Mustiar AR merupakan potret tajam tentang kegagalan manusia menjaga moralitasnya dalam godaan dunia. Melalui imaji gelap dan simbolik, Mustiar menyuguhkan puisi yang pendek namun mendalam. Ini adalah semacam “jeritan sunyi” dari seorang individu yang menyadari kesalahannya dan memohon ampun dengan cara paling jujur: mengakui bahwa ia menukar surga dengan sesuatu yang remeh.

Puisi ini tidak hanya tentang malam dan mimpi, tetapi juga tentang kerapuhan manusia dan harapan akan pengampunan. Ia berbicara kepada siapa pun yang pernah tergelincir, dan menyodorkan cermin refleksi yang getir, namun perlu.

Mustiar AR
Puisi: Malam Jahanam
Karya: Mustiar AR
© Sepenuhnya. All rights reserved.