Puisi: Kolam Merah di Beutong Ateuh (Karya D. Kemalawati)

Puisi Kolam Merah di Beutong Ateuh karya D. Kemalawati bukan hanya sekadar mengisahkan kekerasan, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan ....
Kolam Merah di Beutong Ateuh

Orang-orang datang mengucap salam
orang-orang berjabatan tangan
orang-orang berkeliling wajahnya seram
orang-orang di tangannya senjata siap kokang
orang-orang tak mendengar pengajian
orang-orang lupa mengumandangkan azan
orang-orang mendengar suara tembakan
orang-orang mendengar raungan kengerian
orang-orang mendengar rintihan kesakitan
orang-orang lalu melihat darah merah menjadi kolam
orang-orang menghitung dengan gigi gemerutuk ketakutan
berapa lelaki syahid Jum'at siang
orang-orang mengingat dengan harap cemas
berapa lelaki dibawa pergi kembali pulang
orang-orang mulai menggali
lubang-lubangpun berisi
orang-orang mulai bersaksi
saksi-saksi berdesah ngeri
dan aku serta ribuan orang disini
tak dapat dibeli

Aku punya naluri
hati nurani 
walau telah lama terkepung
aku memilih mati
akupun bersaksi
(bahwa pembantaian itu benar-benar terjadi)

Banda Aceh, Jum'at, 30 Juli 1999

Catatan:
Beutong Ateuh: perkampungan terpencil di kabupaten Nagan Raya tempat bermukimnya seorang Ulama bernama Bantaqiah dan pengikutnya.

Analisis Puisi:

Puisi Kolam Merah di Beutong Ateuh karya D. Kemalawati merupakan karya yang menggugah kesadaran akan tragedi kemanusiaan dan kekerasan yang terjadi di sebuah perkampungan terpencil. Dengan latar belakang peristiwa yang kelam, puisi ini menyampaikan pesan yang mendalam tentang kesedihan, keberanian, dan kehilangan.

Situasi dan Konteks

Puisi ini menggambarkan suasana mencekam di Beutong Ateuh, tempat dimana orang-orang datang untuk beribadah, namun disambut dengan kekerasan. Penggunaan repetisi frasa “orang-orang” menunjukkan kolektivitas masyarakat yang terjebak dalam peristiwa tragis ini. Dalam konteks ini, puisi mencerminkan realitas pahit di mana masyarakat tidak lagi dapat menikmati kehidupan sehari-hari yang normal, melainkan hidup dalam ketakutan dan kehampaan.

Perjuangan Melawan Kekerasan

Melalui ungkapan “orang-orang tidak mendengar pengajian / orang-orang lupa mengumandangkan azan”, puisi ini menunjukkan bagaimana kekerasan telah mengalihkan perhatian dari spiritualitas dan nilai-nilai agama. Suara tembakan dan raungan kengerian menggantikan suara-suara doa, menciptakan kontras yang mencolok antara kehidupan sehari-hari yang seharusnya damai dan kekacauan yang dialami masyarakat.

Simbol Darah dan Syahid

Gambaran “darah merah menjadi kolam” merupakan simbol yang kuat tentang kehilangan nyawa dan dampak kekerasan. Darah di sini bukan hanya sekadar representasi fisik, tetapi juga menandakan penderitaan yang dialami oleh banyak orang. Penyebutan “berapa lelaki syahid Jum'at siang” menunjukkan makna mendalam dari pengorbanan dan keberanian di tengah penindasan. Istilah “syahid” membawa konotasi religius, menggambarkan mereka yang tewas dalam keadaan yang berjuang untuk keadilan dan kebenaran.

Kesaksian dan Keberanian

Di bagian akhir puisi, penulis mengungkapkan bahwa meskipun terkepung, dia memiliki “naluri” dan “hati nurani”. Penegasan ini menunjukkan bahwa penulis dan orang-orang yang berada di sekitarnya memilih untuk bersaksi meskipun mereka berisiko menghadapi kekerasan. Kalimat “akupun bersaksi / (bahwa pembantaian itu benar-benar terjadi)” menggarisbawahi komitmen untuk mengingat dan menceritakan kembali tragedi yang telah terjadi, menekankan pentingnya kesaksian dalam menghadapi sejarah kelam.

Tema Kemanusiaan dan Harapan

Puisi ini bukan hanya sekadar mengisahkan kekerasan, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan nilai kemanusiaan. Di balik semua kengerian, terdapat harapan akan keadilan dan pengakuan terhadap mereka yang telah terpengaruh oleh kekerasan. Dengan memilih untuk bersaksi, penulis mengajak masyarakat untuk tidak melupakan sejarah dan tetap berjuang untuk kebenaran.

Puisi Kolam Merah di Beutong Ateuh adalah puisi yang mencerminkan realitas pahit yang dihadapi oleh masyarakat yang terjebak dalam kekerasan dan penindasan. D. Kemalawati berhasil menyampaikan emosi mendalam melalui kata-kata yang kuat dan simbolisme yang tajam. Puisi ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat akan tragedi, tetapi juga sebagai seruan untuk kemanusiaan dan keberanian dalam menghadapi kegelapan. Dengan mengingat dan menyaksikan peristiwa tersebut, puisi ini menekankan pentingnya memelihara harapan dan memperjuangkan keadilan di tengah kesedihan.

D. Kemalawati
Puisi: Kolam Merah di Beutong Ateuh
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.