Puisi: Jerit Bukit (Karya Fikar W. Eda)

Puisi "Jerit Bukit" karya Fikar W. Eda menggambarkan keputusasaan, penderitaan, dan keterasingan dengan bahasa yang kuat dan imaji yang menyentuh.
Jerit Bukit

Tidakkah kau baca
isyarat angin
mengucap salam
melambai rindu
mengantar senyum
anak negeri yang pasrah

Tidakkah kau dengar
menggelinding jerit
dari pucuk bukit
berbeban asa
penuh luka
penuh darah

Atau sudah demikian jauhkah
jarak keterpencilan kita
dimana senyum berubah makna
jadi angkuh
dan matahari tidak lagi
menawarkan banyak hal
hingga sejarah remuk
dalam genggaman serdadu!


Sigli, 1989-2000

Sumber: Rencong (2005)

Analisis Puisi:

Puisi "Jerit Bukit" karya Fikar W. Eda adalah sebuah karya yang menggambarkan keputusasaan dan kesedihan mendalam yang dialami oleh anak negeri yang pasrah terhadap keadaan. Dengan menggunakan bahasa yang kuat dan imaji yang menyentuh, puisi ini mengeksplorasi tema-tema seperti penderitaan, keterasingan, dan kehilangan dalam konteks yang luas.

Bait Pertama

Tidakkah kau baca
isyarat angin
mengucap salam
melambai rindu
mengantar senyum
anak negeri yang pasrah

Bait pertama mengajak pembaca untuk merenungkan apakah kita benar-benar memahami atau merasakan isyarat yang disampaikan oleh angin. Angin di sini bukan hanya sebagai elemen alam, tetapi sebagai simbol dari pesan atau perasaan yang mungkin kita abaikan. Isyarat angin yang mengucap salam dan melambai rindu menunjukkan adanya perasaan pasrah dan kerinduan dari "anak negeri" yang mungkin merasa terasing atau tidak dihiraukan.

Bait Kedua

Tidakkah kau dengar
menggelinding jerit
dari pucuk bukit
berbeban asa
penuh luka
penuh darah

Pada bait kedua, penyair menggambarkan jeritan yang berasal dari pucuk bukit sebagai simbol dari penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh komunitas atau individu. Jeritan ini diibaratkan menggelinding, menandakan bahwa penderitaan itu tidak hanya tetap di satu tempat tetapi bergerak dan menyebar. Gambar luka dan darah memperkuat suasana kesedihan dan kekacauan yang dirasakan.

Bait Ketiga

Atau sudah demikian jauhkah
jarak keterpencilan kita
dimana senyum berubah makna
jadi angkuh
dan matahari tidak lagi
menawarkan banyak hal
hingga sejarah remuk
dalam genggaman serdadu!

Bait terakhir menanyakan sejauh mana jarak keterpencilan yang memisahkan kita dari perasaan dan pengalaman yang sebenarnya. Senyum yang berubah makna menjadi angkuh menunjukkan bagaimana perasaan dan ekspresi bisa berubah karena keterasingan dan keputusasaan. Matahari yang tidak lagi menawarkan banyak hal mencerminkan kehilangan harapan dan kegembiraan. Penyair juga menyebutkan sejarah yang remuk dalam genggaman serdadu, yang bisa melambangkan kehancuran sejarah atau budaya akibat penindasan dan konflik.

Tema dan Makna

  • Penderitaan dan Kesedihan: Tema utama dari puisi ini adalah penderitaan dan kesedihan yang mendalam. Penyair menggunakan imaji jeritan, luka, dan darah untuk menggambarkan betapa beratnya beban yang ditanggung oleh anak negeri. Kesedihan ini terasa lebih intens dengan konteks sejarah dan konflik yang menyertainya.
  • Keterasingan dan Kehilangan: Keterasingan menjadi tema penting dalam puisi ini, ditandai dengan pertanyaan apakah kita benar-benar memahami perasaan yang disampaikan oleh angin dan jeritan dari pucuk bukit. Keterasingan ini menambah perasaan kehilangan dan keputusasaan yang mendalam, dengan senyum yang berubah makna dan matahari yang kehilangan maknanya.
  • Kehancuran Sejarah: Penyair juga menyentuh tema kehancuran sejarah, yang digambarkan sebagai sesuatu yang remuk dalam genggaman serdadu. Ini mencerminkan dampak destruktif dari konflik dan penindasan terhadap budaya dan sejarah.

Simbolisme dalam Puisi

  • Angin dan Jeritan: Angin dalam puisi ini melambangkan pesan dan perasaan yang sering kali diabaikan, sementara jeritan dari pucuk bukit melambangkan penderitaan yang menyebar dan terasa di seluruh komunitas atau individu.
  • Matahari dan Senyum: Matahari yang tidak lagi menawarkan banyak hal melambangkan kehilangan harapan dan kegembiraan, sementara senyum yang berubah makna menjadi angkuh menunjukkan bagaimana perasaan dan ekspresi bisa menjadi negatif akibat keterasingan dan keputusasaan.
Puisi "Jerit Bukit" karya Fikar W. Eda adalah sebuah karya yang menggambarkan keputusasaan, penderitaan, dan keterasingan dengan bahasa yang kuat dan imaji yang menyentuh. Penyair berhasil menyampaikan perasaan dan pengalaman mendalam melalui penggunaan simbolisme dan tema yang relevan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang dampak penderitaan dan konflik terhadap individu dan komunitas, serta bagaimana sejarah dan budaya dapat hancur akibat penindasan.

Fikar W. Eda
Puisi: Jerit Bukit
Karya: Fikar W. Eda

Biodata Fikar W. Eda:
  • Fikar W. Eda lahir pada tanggal 8 Mei 1966 di Takengon, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.