Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Duka Memeluk Toba (Karya Mustiar AR)

Puisi “Duka Memeluk Toba” karya Mustiar AR bercerita tentang tragedi yang terjadi di wilayah Toba, Sumatra, kemungkinan besar merujuk pada ...
Duka Memeluk Toba

Teriak di ajibata Sumatra, sayang
duka telah memeluk Tobaku pada siang itu
tak dinyana maut tiba menjemput
semua terhenyak, puluhan jiwa berpulang
ke pangkuan ilahi
ke rumahnya nan suci,
tiba-tiba.

Teriak di ajibata Samosir
adalah teriak pilu menyesakkan dadaku
di hari menjemput idul fitri.

Duka Toba duka kita
memeluk erat.

Aceh, 18 Juni 2018

Analisis Puisi:

Puisi “Duka Memeluk Toba” karya Mustiar AR adalah sepotong nyanyian duka yang sederhana tapi menghunjam. Melalui larik-lariknya yang pendek dan penuh daya pukau, penyair mengabadikan satu momen tragis yang menyelimuti Danau Toba dan sekitarnya: musibah, kehilangan, dan kesedihan kolektif yang tidak hanya mengguncang secara fisik, tetapi juga spiritual. Puisi ini menghadirkan sebuah refleksi yang menyentuh tentang kehilangan dan keheningan, tentang manusia dan kuasa takdir, tentang kehidupan yang bisa direnggut “tiba-tiba.”

Tema

Puisi ini mengangkat tema duka akibat musibah dan kesedihan kolektif atas kehilangan jiwa manusia. Bencana yang terjadi di sekitar wilayah Toba, khususnya Ajibata dan Samosir, menjadi titik pijak puisi ini. Melalui penyebutan tempat yang nyata, penyair menjangkarkan emosinya pada lokasi geografis yang konkret, namun sekaligus membuka tafsir universal tentang penderitaan dan musibah yang bisa menimpa siapa saja.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini menggambarkan ketidakberdayaan manusia di hadapan maut, serta betapa rapuhnya kehidupan. Frasa “tak dinyana maut tiba menjemput” menunjukkan bahwa kematian tidak bisa diprediksi dan bisa datang kapan saja, bahkan saat manusia sedang bersiap menyambut hari suci seperti Idul Fitri. Puisi ini juga menyiratkan bahwa kesedihan di satu tempat bisa menjadi duka bersama, membentuk solidaritas emosional di antara sesama manusia.

Puisi ini bercerita tentang tragedi yang terjadi di wilayah Toba, Sumatra, kemungkinan besar merujuk pada peristiwa tenggelamnya kapal atau musibah serupa yang menelan banyak korban jiwa. Penyair menempatkan dirinya sebagai saksi dan peratap, menyuarakan jerit pilu dari Ajibata dan Samosir. Dalam suasana menjelang hari raya yang semestinya penuh sukacita, justru kematian menyergap. Maka yang terdengar bukan takbir kemenangan, melainkan ratapan dan jeritan kehilangan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat sendu, duka cita, dan menyesakkan dada. Ada rasa terpukul dan pilu mendalam dalam diksi-diksi seperti “terhenyak,” “puluhan jiwa berpulang,” hingga “teriak pilu menyesakkan dadaku.” Penggunaan kata-kata itu memperkuat atmosfer berkabung yang menyelimuti keseluruhan puisi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini mengingatkan kita bahwa hidup ini fana dan penuh ketidakpastian. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa esok akan tiba dengan utuh. Maka, pesan yang dapat diambil adalah pentingnya kesadaran akan kefanaan, serta empati terhadap penderitaan sesama. Duka Toba, sebagaimana ditulis penyair, bukan hanya milik satu daerah, melainkan duka bersama: “Duka Toba duka kita.”

Imaji

Puisi ini menyuguhkan imaji visual dan emosional yang kuat, terutama dalam larik:
  • “duka telah memeluk Tobaku pada siang itu” – menciptakan gambaran akan tempat yang semula damai kini diselimuti kesedihan.
  • “semua terhenyak, puluhan jiwa berpulang” – memberikan bayangan tentang situasi chaos dan kehilangan massal.
  • “teriak pilu menyesakkan dadaku” – menyampaikan imaji suara dan beban batin yang mendalam.
Puisi ini juga mengandung imaji religius, dengan penyebutan frasa seperti “ke pangkuan ilahi” dan “ke rumahnya nan suci,” menguatkan suasana spiritualitas dalam menghadapi maut.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “duka telah memeluk Tobaku” — duka digambarkan seolah memiliki tangan yang bisa memeluk. Ini menguatkan efek emosional tragedi.
  • Metafora: “ke pangkuan ilahi” — menyimbolkan kematian dengan cara halus dan religius.
  • Hiperbola: “semua terhenyak” — seolah menggambarkan seluruh dunia turut kaget dan terpukul.
  • Repetisi: Kata “teriak” diulang dua kali, di dua lokasi berbeda (Ajibata Sumatra dan Ajibata Samosir), menciptakan efek gema duka yang tak terbendung.
Puisi “Duka Memeluk Toba” adalah sebuah karya yang menohok nurani. Ia tidak berdiri sebagai sekadar puisi belasungkawa, tetapi juga sebagai pengingat akan rapuhnya kita di hadapan semesta. Melalui pemilihan diksi yang puitis namun tidak mengada-ada, Mustiar AR berhasil menyuarakan tragedi yang lokal sekaligus universal. Toba bukan sekadar tempat; ia menjadi metafora dari luka manusia. Dalam duka itu, kita semua berpelukan — sebagai manusia yang tidak pernah tahu kapan giliran kita berpulang “tiba-tiba.”

Mustiar AR
Puisi: Duka Memeluk Toba
Karya: Mustiar AR
© Sepenuhnya. All rights reserved.