Puisi: Di Empat Tujuh Usia Kekasih (Karya D. Kemalawati)

Puisi "Di Empat Tujuh Usia Kekasih" karya D. Kemalawati menggambarkan tentang perjalanan cinta yang penuh ketulusan dan kerelaan.
Di Empat Tujuh Usia Kekasih

Aku ingin seperti perahu di samudra jiwamu
yang tanpa batas
membiarkan riak-riak kecil
mengapungkannya sepanjang waktu

Andai pun badai menerjang
perahu hancur
biarlah lebur menyatu terumbu karang
tempat ikan-ikan lalu lalang
dengan insang mengembang
menari-nari di gerbang liang.

Banda Aceh, 14 Februari 2011

Analisis Puisi:

Puisi "Di Empat Tujuh Usia Kekasih" karya D. Kemalawati menggambarkan tentang perjalanan cinta yang penuh ketulusan dan kerelaan. Dalam puisi ini, penyair menggunakan simbolisme perahu dan samudra untuk merefleksikan perasaan cinta yang luas, dinamis, dan penuh tantangan, namun juga menyiratkan penerimaan terhadap segala risiko yang mungkin terjadi dalam perjalanan cinta.

Perumpamaan Perahu di Samudra

Baris pertama puisi ini, "Aku ingin seperti perahu di samudra jiwamu," menggambarkan sebuah harapan penyair untuk menjadi bagian dari kehidupan kekasihnya. Perahu melambangkan dirinya yang ingin terus berada dalam samudra, yaitu jiwa sang kekasih, yang tak berbatas. Samudra di sini menggambarkan kedalaman perasaan dan jiwa yang luas, tempat sang penyair ingin berlabuh dan mengarungi kehidupan bersama.

Perahu juga bisa diartikan sebagai simbol kebersamaan, bahwa dalam hubungan cinta, seseorang rela mengarungi samudra kehidupan yang luas dan penuh ketidakpastian bersama pasangan mereka. Meski dihadapkan pada riak-riak kecil atau masalah dalam hubungan, riak-riak kecil ini adalah bagian dari perjalanan cinta yang tidak dapat dihindari, namun tetap dihadapi dengan tenang.

Penggambaran Ketabahan dalam Menghadapi Badai

Pada baris "Andai pun badai menerjang, perahu hancur," tersirat bahwa penyair menyadari adanya tantangan besar atau badai yang mungkin dihadapi dalam hubungan. Badai ini dapat diartikan sebagai permasalahan besar atau konflik yang mengancam kehancuran cinta mereka. Namun, yang menarik adalah sikap penerimaan sang penyair terhadap kemungkinan ini. Alih-alih berusaha melawan atau menghindari badai, ia memilih untuk menerima kemungkinan bahwa perahu (hubungan) bisa hancur dan melebur.

Meski begitu, kehancuran bukan akhir dari segalanya. Pada baris berikutnya, "biarlah lebur menyatu terumbu karang," terdapat harapan bahwa meskipun cinta mereka harus hancur karena badai, perasaan tersebut akan tetap menyatu dalam bentuk lain, seperti terumbu karang yang kokoh dan menjadi rumah bagi kehidupan laut. Simbol terumbu karang menggambarkan kekuatan cinta yang abadi, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Terumbu karang menjadi tempat bagi ikan-ikan lalu lalang untuk berlindung dan berkembang, melambangkan bahwa cinta yang pernah ada akan tetap memberikan makna dan menjadi tempat kenangan yang indah.

Simbol Ikan dan Insang

Ikan-ikan yang menari-nari di gerbang liang adalah simbol kebebasan dan kehidupan baru yang muncul setelah badai. Mereka mewakili kelanjutan kehidupan, meskipun badai telah menghancurkan perahu. Penyair seakan ingin mengatakan bahwa cinta yang tulus tidak akan hilang begitu saja; meskipun hubungan itu berakhir, cinta itu akan menemukan cara untuk hidup dalam bentuk lain, seperti ikan-ikan yang bebas berenang di antara terumbu karang. Insang yang mengembang melambangkan kemampuan untuk beradaptasi dan bertahan dalam segala kondisi.

Refleksi pada Usia dan Cinta yang Dewasa

Judul puisi ini, "Di Empat Tujuh Usia Kekasih", mengindikasikan bahwa cinta yang digambarkan adalah cinta yang matang, yang dialami pada usia dewasa, yaitu usia 47 tahun. Pada usia ini, cinta bukan lagi tentang gairah yang menggebu-gebu, tetapi lebih tentang pengertian, ketulusan, dan kebijaksanaan. Penyair ingin menunjukkan bahwa cinta di usia ini memiliki kedalaman yang berbeda, di mana harapan dan kenyataan dihadapi dengan lebih tenang, dan segala tantangan bisa diterima dengan lapang dada.

Puisi "Di Empat Tujuh Usia Kekasih" menunjukkan keindahan cinta yang dewasa, yang penuh ketulusan dan ikhlas dalam menerima segala hal yang terjadi dalam perjalanan kehidupan. D. Kemalawati dengan indah menggambarkan bagaimana cinta yang matang tidak hanya soal kebersamaan di saat senang, tetapi juga kesiapan untuk menghadapi badai dan menerima segala kemungkinan, termasuk kehancuran. Namun, meskipun ada kehancuran, cinta itu tetap abadi dalam bentuk lain, seperti terumbu karang yang kuat di dasar samudra.

D. Kemalawati
Puisi: Di Empat Tujuh Usia Kekasih
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.