Puisi: Dari Balik Kaca Sebuah Menara (Karya Fikar W. Eda)

Puisi "Dari Balik Kaca Sebuah Menara" karya Fikar W. Eda mengajak pembaca untuk merenungkan ketidakadilan sosial dan pentingnya memperhatikan ...
Dari Balik Kaca Sebuah Menara

Dari balik kaca
sebuah menara
merangkum kota
sampai kaki langit

Dari balik kaca
sebuah menara
wajah-wajah gelisah
tanpa warna
mendengarkan pidato kemerdekaan
sambil menyanyikan mars perjuangan
sementara tangan dan hati
terpasung rantai panjang
di halaman pendopo

Dari balik kaca
sebuah menara
bangkai-bangkai tanpa kepala
berserak di sudut kota
senja warna jingga
kian tua
adalah saksi yang belum selesai.

Banda Aceh, Februari 1985

Sumber: Rencong (2005)

Analisis Puisi:

Puisi "Dari Balik Kaca Sebuah Menara" karya Fikar W. Eda menawarkan sebuah gambaran yang mendalam dan reflektif tentang kondisi sosial dan politik melalui metafora menara dan kaca. Dengan gaya bahasa yang kuat dan visual yang mencolok, puisi ini menggambarkan kontras antara kemegahan dan penderitaan, serta bagaimana kesenjangan sosial dan politik berperan dalam kehidupan sehari-hari.

Tema

  • Kesenjangan Sosial dan Politik: Tema utama puisi ini adalah kesenjangan sosial dan politik yang terjadi dalam masyarakat. Menara yang digambarkan sebagai simbol kemegahan dan kekuasaan, sementara kaca menandakan jarak dan keterasingan. Puisi ini mencerminkan bagaimana kehidupan sehari-hari, yang sering kali terasing dan tertutup dalam kesadaran orang-orang di kekuasaan, berkontras dengan penderitaan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat bawah.
  • Ketidakberdayaan dan Penderitaan: Puisi ini juga mengeksplorasi tema ketidakberdayaan dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat. Dengan menyebutkan "wajah-wajah gelisah" dan "bangkai-bangkai tanpa kepala", puisi ini menggarisbawahi betapa dalamnya penderitaan yang dialami oleh masyarakat yang terpinggirkan. Penderitaan ini disaksikan dari jauh oleh mereka yang berada dalam posisi kekuasaan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh kondisi yang dialami oleh orang-orang di bawah.

Bait Pertama: Kaca dan Menara

Dari balik kaca
sebuah menara
merangkum kota
sampai kaki langit

Bait ini memperkenalkan gambar utama puisi, yaitu menara yang dilihat dari balik kaca. Menara ini melambangkan kekuasaan dan kemegahan, sedangkan kaca menunjukkan jarak dan keterasingan. Menara yang "merangkum kota sampai kaki langit" menggambarkan bagaimana kekuasaan dan otoritas tampaknya mencakup dan mengontrol segalanya dari ketinggian, tanpa benar-benar terlibat dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Bait Kedua: Kegelapan dan Ketidakadilan

Dari balik kaca
sebuah menara
wajah-wajah gelisah
tanpa warna
mendengarkan pidato kemerdekaan
sambil menyanyikan mars perjuangan
sementara tangan dan hati
terpasung rantai panjang
di halaman pendopo

Di bait ini, puisi ini menggambarkan kontras antara pidato kemerdekaan dan kenyataan yang dialami oleh orang-orang di lapangan. "Wajah-wajah gelisah tanpa warna" menunjukkan ketidakberdayaan dan kegelapan yang melingkupi masyarakat. Rantai panjang yang mengikat "tangan dan hati" menggambarkan pembatasan dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat meski ada perayaan kemerdekaan dan perjuangan.

Bait Ketiga: Penderitaan yang Tak Berakhir

Dari balik kaca
sebuah menara
bangkai-bangkai tanpa kepala
berserak di sudut kota
senja warna jingga
kian tua
adalah saksi yang belum selesai.

Bait ini menekankan penderitaan yang berserakan di sudut kota, di mana "bangkai-bangkai tanpa kepala" menggambarkan kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh ketidakadilan sosial. Senja warna jingga yang "kian tua" melambangkan waktu yang berlalu tanpa ada perubahan signifikan. Menara dan kaca menjadi saksi dari penderitaan yang belum terselesaikan, menggarisbawahi ketidakmampuan sistem untuk memperbaiki keadaan.

Gaya dan Struktur

  • Gaya Bahasa: Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang kuat dan visual dengan metafora yang jelas. Menara dan kaca menjadi simbol yang efektif untuk menggambarkan jarak antara kekuasaan dan realitas kehidupan masyarakat. Bahasa yang digunakan sederhana namun menonjolkan kontras antara kemewahan dan penderitaan.
  • Struktur dan Alur: Puisi ini memiliki struktur yang berulang dengan frasa "Dari balik kaca" yang digunakan di awal setiap bait. Struktur ini menekankan jarak dan keterasingan yang dialami oleh mereka di posisi kekuasaan ketika melihat kehidupan di bawah. Alur puisi ini mengikuti perkembangan dari pengamatan menara terhadap kondisi masyarakat, dari kemewahan dan perayaan hingga penderitaan dan kehancuran.

Makna dan Pesan

Puisi "Dari Balik Kaca Sebuah Menara" menyampaikan pesan tentang ketidakadilan sosial dan politik serta keterasingan yang dialami oleh masyarakat di bawah kekuasaan. Dengan menggunakan metafora menara dan kaca, puisi ini menggambarkan bagaimana kekuasaan tampak jauh dan tidak terhubung dengan realitas penderitaan yang dialami oleh orang-orang biasa. Pesan utama puisi ini adalah kritik terhadap sistem yang mengabaikan penderitaan masyarakat dan kegagalan untuk memperbaiki keadaan meskipun ada kemegahan dan perayaan.

Puisi "Dari Balik Kaca Sebuah Menara" karya Fikar W. Eda adalah puisi yang kuat dan reflektif yang mengeksplorasi kesenjangan sosial dan politik melalui metafora menara dan kaca. Dengan gaya bahasa yang visual dan struktur yang berulang, puisi ini menyampaikan kritik terhadap sistem kekuasaan yang terpisah dari penderitaan rakyat. Pesan puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan ketidakadilan sosial dan pentingnya memperhatikan kondisi masyarakat yang terpinggirkan.

Fikar W. Eda
Puisi: Dari Balik Kaca Sebuah Menara
Karya: Fikar W. Eda

Biodata Fikar W. Eda:
  • Fikar W. Eda lahir pada tanggal 8 Mei 1966 di Takengon, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.