Analisis Puisi:
Puisi "Air Mata Palu dan Donggala" menciptakan sebuah gambaran yang mengharukan dan penuh emosi terhadap tragedi gempa yang melanda Palu dan Donggala. Dengan penggunaan bahasa yang kuat dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung atas penderitaan dan kehilangan yang dialami oleh korban bencana tersebut.
Zikir dan Kehisterisan: Puisi ini dibuka dengan gambaran suasana sore yang penuh zikir dan kehisterisan. Kata-kata seperti "belarian," "gelegar," dan "amuk badai" menggambarkan ketakutan dan kepanikan dalam menghadapi bencana alam yang dahsyat.
Gambaran Kehancuran: Puisi merinci kehancuran yang ditimbulkan oleh bencana gempa tersebut. Rumah dan gedung diakhiri, tiang-tiang kehilangan akar, dan lautan tangisan serta jeritan ibu-ibu menjadi latar belakang pahitnya kehilangan yang dirasakan oleh masyarakat.
Jeritan Jiwa dan Kehilangan: Puisi menggambarkan penderitaan yang mendalam, termasuk jeritan ibu-ibu yang kehilangan anak-anak, serta tangis anak-anak yang ditinggalkan tanpa ibu dan bapak. Kehilangan menjadi tema sentral yang menyentuh hati dan menyoroti tragisnya realitas.
Kehancuran Jiwa dan Kota: Simbolisme air mata yang berguguran di bawah langit kedukaan menggambarkan kesedihan yang tak terhentikan. Kota Palu dan Donggala yang gelap dan suram mencerminkan kegelapan jiwa dan nasib malang yang menimpa masyarakatnya.
Zikir dan Doa sebagai Pengiring Air Mata: Zikir dan doa disebutkan sebagai bagian yang tak pernah berhenti, menciptakan nuansa spiritualitas dan ketabahan di tengah tragedi. Hal ini menunjukkan ketahanan dan harapan masyarakat yang tetap bersatu dalam menghadapi ujian yang berat.
Gema Air Mata dan Duka yang Meresap: Air mata bukan hanya fisik, melainkan juga metafora bagi kepedihan dan duka yang meresap di hati masyarakat yang terkena dampak bencana. Senja yang menangis dan malam yang kelam menciptakan gambaran suram atas nasib yang dihadapi oleh kota-kota tersebut.
Puisi ini bukan hanya sekadar ungkapan kesedihan, tetapi juga sebuah pengingat akan kerapuhan manusia di hadapan alam. Dengan penggunaan bahasa yang indah dan puitis, penyair berhasil menggambarkan kepedihan dan ketabahan di tengah bencana yang melanda.
Karya: A. Rahim Eltara