Puisi: Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan (Karya Sutan Takdir Alisjahbana)

Puisi "Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan" karya Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan perjalanan hidup dengan segala tantangan dan ketidakpastiannya.
Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan

'Lang putih jauh sayup menyisir awan.
Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan.

Wahai Tuhan, tiadakan lagi kapalku dengan bendera girang berkibar diiramakan ombak masuk pelabuhan.

Dengan layar compang-camping dan kemudi gila serupa ini, pastilah kapalku akan terkandas di gosong atau dikarang.

Biarlah! biarlah!
Tariklah beta, gosong, pada pasirmu yang liat!
Hancurkanlah beta, karang, pada batumu yang keras!

Tetapi selama pengembaraanku ini sejenak lagi beta hendak bertangas dalam harapan.
Sekali lagi beta hendak mengecap nikmat nakhoda menuju pelabuhan.

Lang putih jauh sayup menyisir awan.
Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan.

1 Maret 1937

Sumber: Pujangga Baru (Agustus, 1937)

Analisis Puisi:

Puisi "Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan" karya Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan perjalanan hidup yang penuh tantangan, ketidakpastian, dan harapan. Melalui simbolisme maritim, penyair mengungkapkan perasaan seorang nakhoda yang berjuang melawan kerasnya laut dan mengarahkan kapalnya menuju pelabuhan yang diidamkan. Puisi ini sarat dengan makna tentang perjuangan, harapan, dan penerimaan nasib.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah perjuangan dan harapan dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Sang nakhoda, yang menggambarkan individu dalam perjalanan hidupnya, terus berusaha dan berharap meskipun dihadapkan pada berbagai rintangan dan kemungkinan kegagalan. Ada juga tema penerimaan nasib, di mana penyair menunjukkan kesediaan untuk menerima apapun yang terjadi, baik itu keberhasilan mencapai pelabuhan atau terdampar di karang.

Struktur

Puisi ini terdiri dari enam bait yang tidak teratur. Setiap bait memiliki pola yang berdeda, menggambarkan perjalanan, harapan, dan ketegangan antara keinginan untuk mencapai tujuan dan kenyataan yang dihadapi.

Gaya Bahasa

Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan berbagai perangkat gaya bahasa yang memperkaya puisi ini, antara lain:
  1. Simbolisme: Kapal, layar compang-camping, dan pelabuhan adalah simbol-simbol yang menggambarkan perjalanan hidup, perjuangan, dan harapan. Kapal yang compang-camping melambangkan kondisi yang rapuh dan penuh tantangan, sementara pelabuhan melambangkan tujuan akhir atau cita-cita.
  2. Personifikasi: Ombak yang "mengirama" dan kemudi yang "gila" memberikan karakter hidup pada elemen-elemen alam, menggambarkan tantangan-tantangan yang dinamis dan tak terduga yang dihadapi oleh sang nakhoda.
  3. Repetisi: Pengulangan frasa "Lang putih jauh sayup menyisir awan", di bait pertama dan terakhir, memberikan efek penguatan dan pengingat bahwa di balik semua tantangan, masih ada harapan yang terlihat dari kejauhan.
  4. Metafora: Penggunaan metafora seperti "tariklah beta, gosong, pada pasirmu yang liat!" dan "hancurkanlah beta, karang, pada batumu yang keras!" mengekspresikan kesediaan untuk menerima nasib apapun yang menanti, baik itu hancur di karang atau terdampar di gosong.

Makna dan Simbolisme

  1. Kapal dan Pelabuhan: Kapal melambangkan kehidupan atau perjalanan individu, sementara pelabuhan adalah simbol dari tujuan, impian, atau tempat istirahat yang diidamkan.
  2. Layar Compang-Camping dan Kemudi Gila: Ini menggambarkan kondisi yang penuh tantangan, di mana alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tidak dalam kondisi ideal, mencerminkan realitas perjuangan yang sering kali jauh dari sempurna.
  3. Gosong dan Karang: Gosong dan karang mewakili rintangan dan hambatan yang bisa menghancurkan harapan dan impian. Namun, ada juga penerimaan dalam keputusasaan ini, menunjukkan kebesaran hati dalam menghadapi takdir.
Puisi "Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan" karya Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan perjalanan hidup dengan segala tantangan dan ketidakpastiannya. Melalui simbolisme maritim, penyair menyampaikan pesan tentang perjuangan, harapan, dan penerimaan nasib. Meskipun kapal berada dalam kondisi yang tidak ideal, sang nakhoda tetap memelihara harapan untuk mencapai pelabuhan yang diidamkan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang betapa berharganya setiap momen perjuangan dalam hidup, serta pentingnya tetap memiliki harapan meskipun dihadapkan pada kesulitan dan ketidakpastian. Sutan Takdir Alisjahbana dengan brilian menangkap esensi dari perjalanan manusia dalam menghadapi hidup dan segala rintangannya.

Puisi: Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan
Puisi: Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan
Karya: Sutan Takdir Alisjahbana

Biodata Sutan Takdir Alisjahbana:
  • Sutan Takdir Alisjahbana lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara.
  • Sutan Takdir Alisjahbana meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 1994.
  • Sutan Takdir Alisjahbana adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
© Sepenuhnya. All rights reserved.