Puisi: Kapak di Dinding Kamar (Karya Toto ST Radik)

Puisi "Kapak di Dinding Kamar" karya Toto ST Radik menggambarkan sebuah potret nyata tentang ketidakadilan sosial, kekuasaan yang menindas, dan ...
Kapak di Dinding Kamar

Setiap malam, kapak di dinding kamarku
meneteskan darah: seorang lagi (mungkin ribuan)
terkapar oleh taring kekuasaan
sebelum do’a sempat diselesaikan

kekuasaan memang tak pernah bisa bersabar. Menunggu
barang sebentar. Belajar membaca manusia dan
menghayati seayat puisi cinta. Ia, yang bernama
kekuasaan itu, seperti dongeng drakula
yang bersicepat dengan cahaya matahari
senantiasa meminta leher-leher putih sebagai tumbal
bagi kemudaan dan kelanggengannya. Tetapi sang drakula
masih sedia tidur pada siang hari
sementara sang kekuasaan, tidak

Setiap malam, kapak di dinding kamarku
meneteskan darah. meneteskan darah!
Sedangkan televisi (juga surat kabar) terus menyanyi
menggunting pita menawarkan kembang gula

Dan kita
terus takjub dalam pesona sihir
lupa bahwa di luar penuh ancaman.

Serang, 24 Mei 1996

Sumber: Indonesia Setengah Tiang (1999)

Analisis Puisi:

Puisi "Kapak di Dinding Kamar" karya Toto ST Radik menggambarkan sebuah potret nyata tentang ketidakadilan sosial, kekuasaan yang menindas, dan ketidakpedulian masyarakat terhadap penderitaan yang terjadi di sekitarnya. Dalam karya ini, Radik menggunakan simbolisme yang kuat, seperti kapak, darah, dan drakula, untuk menyoroti bagaimana kekuasaan sering kali bertindak tanpa belas kasihan, mengorbankan banyak nyawa demi mempertahankan kekuasaannya. Sementara itu, masyarakat terbuai oleh hiburan media, yang menawarkan kenyamanan semu di tengah-tengah ancaman yang terus mengintai.

Kapak di Dinding: Simbol Kekuasaan yang Meneteskan Darah

Puisi ini dibuka dengan gambaran yang keras dan penuh kekerasan: “Setiap malam, kapak di dinding kamarku meneteskan darah.” Gambar kapak yang meneteskan darah ini menggambarkan kekuasaan yang penuh dengan kekerasan, yang tidak segan-segan menghancurkan kehidupan manusia demi mempertahankan kendalinya. Kapak menjadi simbol dari penindasan yang terus-menerus, yang menghancurkan tubuh dan jiwa rakyat tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri.

Radik melanjutkan dengan menggambarkan “seorang lagi (mungkin ribuan) terkapar oleh taring kekuasaan sebelum do’a sempat diselesaikan.” Dalam kalimat ini, Radik menunjukkan betapa banyaknya korban yang jatuh akibat kekuasaan yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Kehidupan mereka diputuskan dengan sekejamnya sebelum mereka sempat menyelesaikan doa mereka—sebuah simbol dari harapan dan impian yang terenggut oleh kekuasaan yang tidak pernah berhenti.

Kekuasaan yang Tidak Bisa Menunggu

Radik menggambarkan kekuasaan sebagai sebuah entitas yang tidak mengenal kesabaran dan keadilan. Ia menyatakan, “kekuasaan memang tak pernah bisa bersabar. Menunggu barang sebentar. Belajar membaca manusia dan menghayati seayat puisi cinta.” Kekuasaan dalam pandangan ini adalah sesuatu yang serakah dan tidak pernah merasa cukup. Ia tidak mau menunggu, tidak mau memberi kesempatan untuk perubahan yang adil, dan bahkan tidak tertarik pada kehidupan manusia secara lebih dalam.

Gambaran ini diperkuat dengan perbandingan antara kekuasaan dan “dongeng drakula yang bersicepat dengan cahaya matahari senantiasa meminta leher-leher putih sebagai tumbal bagi kemudaan dan kelanggengannya.” Drakula dalam dongeng dikenal sebagai makhluk yang menghisap darah dan hidup dengan mengorbankan orang lain, mirip dengan cara kekuasaan yang memanfaatkan ketidakberdayaan rakyat demi memperpanjang usia kekuasaannya. Dalam konteks ini, sang drakula tidak hanya meminum darah, tetapi juga menjadi simbol dari kekuasaan yang rakus, yang terus-menerus mencari korban untuk mempertahankan dirinya.

Media yang Memberikan Hiburan Semu: Lupa dengan Ancaman di Luar

Dalam puisi ini, Radik juga menyoroti peran media yang sering kali menutupi realitas keras dengan hiburan yang semu. “Sedangkan televisi (juga surat kabar) terus menyanyi menggunting pita menawarkan kembang gula.” Di sini, Radik menggambarkan bagaimana media—baik televisi maupun surat kabar—terus berfokus pada hal-hal yang menghibur dan mengalihkan perhatian publik. Media tidak memberi ruang untuk mengungkapkan penderitaan yang dialami oleh mereka yang tertindas; sebaliknya, media justru berperan sebagai penyebar hiburan yang menutupi kenyataan pahit yang terjadi di luar sana.

Penggambaran media yang “menyanyi” dan “menawarkan kembang gula” mengindikasikan bagaimana media menampilkan citra kehidupan yang indah dan menyenangkan, tetapi hanya sebatas ilusi. Di sisi lain, kehidupan yang sesungguhnya di luar sana dipenuhi oleh penderitaan yang tidak terlihat oleh mata publik yang terbuai oleh sihir hiburan. Ini adalah kritik tajam terhadap cara media membentuk persepsi publik yang jauh dari kenyataan.

Kritik terhadap Ketidakpedulian dan Keterpesonaan Masyarakat

Radik melanjutkan dengan menggambarkan bagaimana masyarakat terperangkap dalam pesona dan sihir yang diberikan oleh media dan kekuasaan. “Dan kita terus takjub dalam pesona sihir, lupa bahwa di luar penuh ancaman.” Kalimat ini menggambarkan ketidakpedulian masyarakat yang terjebak dalam dunia fantasi yang diciptakan oleh media dan kekuasaan. Masyarakat terus terpesona oleh hiburan semu dan keglamoran, sementara di luar sana, ancaman yang nyata terus mengintai. Ketidakpedulian ini adalah bentuk dari keterasingan, di mana orang-orang lebih memilih untuk tetap dalam kebodohan daripada menyadari realitas sosial yang mengancam mereka.

Kekuasaan dan Ketidakpedulian: Keterhubungan yang Menyakitkan

Puisi ini membangun hubungan yang erat antara kekuasaan yang menindas dan masyarakat yang terperangkap dalam ketidakpedulian. Kekuasaan yang tidak mengenal belas kasihan terus beroperasi tanpa henti, sementara masyarakat terbuai oleh hiburan semu yang diberikan oleh media. Dalam gambaran ini, Radik seolah mengingatkan kita bahwa kekuasaan dan media saling bergandengan tangan dalam menciptakan kenyamanan palsu, yang membuat masyarakat tidak sadar akan penderitaan yang terjadi di sekitar mereka.

Radik menggunakan simbolisme yang kuat, seperti kapak, darah, dan drakula, untuk menggambarkan ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan oleh kekuasaan. Selain itu, ia juga menggambarkan media sebagai alat yang memperkuat ketidakpedulian ini, membuat masyarakat terjebak dalam dunia hiburan yang menyesatkan. Dengan demikian, puisi ini tidak hanya merupakan kritik terhadap kekuasaan, tetapi juga terhadap masyarakat yang lebih memilih untuk tetap buta terhadap kenyataan.

Puisi "Kapak di Dinding Kamar" karya Toto ST Radik adalah sebuah karya yang tajam dan penuh makna. Dengan menggunakan simbolisme yang kuat, Radik menyuarakan kritik terhadap kekuasaan yang tidak pernah berhenti menindas, serta media yang terus-menerus menutupi realitas dengan hiburan semu. Dalam puisi ini, Radik mengingatkan kita tentang ketidakpedulian masyarakat yang terperangkap dalam pesona sihir, sementara dunia di luar mereka penuh dengan ancaman dan ketidakadilan.

Melalui puisi ini, Radik mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap penderitaan yang terjadi di sekitar kita dan untuk tidak terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh kekuasaan dan media. Dalam dunia yang penuh ketidakadilan, Radik menyuarakan pentingnya kesadaran dan keberanian untuk melawan ketidakpedulian, serta untuk melihat kenyataan yang sering kali tersembunyi di balik kebohongan dan hiburan semu.

"Puisi Toto ST Radik"
Puisi: Kapak di Dinding Kamar
Karya: Toto ST Radik

Biodata Toto ST Radik:
  • Toto Suhud Tuchaeni Radik lahir pada tanggal 30 Juni 1965 di desa Singarajan, Serang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.