Puisi: Hutan Sakti bagi Perimba (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi "Hutan Sakti bagi Perimba" karya Raudal Tanjung Banua mengisahkan tentang hutan sebagai entitas sakral yang tidak hanya menyediakan kehidupan ..
Hutan Sakti bagi Perimba

(1)

Di manakah gerangan hutan sakti bagi perimba?
Hutan yang tak dimasuki tapak kaki manusia
tak tersentuh telapak tangan, bahkan gema suara
pencari manau, pengumpul damar, penakik getah,
pemetik rotan, gaharu dan buah gintan,
dibelokkan pohon-pohon jadi cahaya,
bercabang-cabang cahaya,
sehingga sungkan menjamah
lembab-basah lekuk tanah.

Pun periuk dan rantang makan
retak di tepi-tepinya. Ikan asin dari pesisir
berloncatan ke anak air. Terasi menggumpal
meniru asam kandis yang baunya masih
seriang-riang sarung bantal anak-anak yang mengaji
di surau-surau tinggal.

Karung dan ambung di punggung
meledak jadi serpihan humus
parang, pengait dan pisau-pisau sirawik
tumpul, majal, sebelum mencecah urat leher
seekor burung, kulit kayu atau kepundan rangrang.

Hutan itu: planet lain yang subur
karena menanggung tuah ibu-tanah
untuk memasukinya kita mesti melewati waktu cahaya
menembus lingkaran-lingkaran tahun dalam kambium
bagai garis galaksi, berlapis-lapis galaksi,
yang akan menelan dan mengubah apa saja
(sedang perimba kadang merasa orang asing
memanggul beban dalam hening rimba-raya)

(2)

Seekor harimau putih jelmaan leluhur (lama dinanti) bertapa di pusarnya di bawah sebatang jawi-jawi rimbun sehampar kijang sembunyi tinggi serentang sayap enggang kasturi di akarnya menyanak mata air membuncah jadi telaga jernih ke mana pelanduk turun mandi sebelum jadi huluan delapan anak sungai yang dibelokkan pohon-pohon dan batuan ke bawah kaki duli si harimau tua yang bersila menyimak seisi pusat rimba:

Gumam bubut bersipongang kuik elang
hompimpah simpai bersambung gelak siamang
di dahan-dahan kera-kera mabuk buah
cingkuk dan beruk berbagi buah-buah busuk
yang ranum-ranum di ranting patah
jatuh dan hanyut ke kuala.

Di tanah basah, landak dan kura-kura menghela diri
ke dalam cangkang dan pagar duri
celeng dan babi-babi mendengus di kubangan dangkal
milik gajah dan badak yang melengos pergi
mengasah cula, gading dan belalai di tebing-tebing ngarai.

Begitulah hutan itu ada di jagat galaksi
jantung sumatera. pusatnya petilasan jawi-jawi
ruhnya harimau putih, semua patuh pada yang mahasakti.

(3)

Konon dulu ada yang masuk menyentuhnya pertama:
seorang perimba yang takzim membaca musim pandai membaca gerak angin
jika padi mulai berbunga di huma-huma
ia tahu itu musim lebah. bila angin berkisai di bubungan
alamat musim kawin burung-burung kuau
bila hujan banyak berjatuhan buah gintan
kemarau bagi damar, manau dan rotan
dan sesekali tersesat rusa birahi belang kaki
ke pangkuan perimba letih.

Kepadanya orang-orang datang
bertanya arah mendaki, hari baik yang dinanti
juga menimbang: apakah rusa yang tersesat
kerna birahi, bisa disembelih atau dilepas
(membuatnya terceguk memberi jawab)
kadang hasrat lain pun lepas: adakah tiba
pesan khidir yang terakhir? ia buat isyarat
dengan angguk dan geleng, senyum sejuk,
sedikit kata melereng, dan orang-orang merasa cukup
tiada yang lebih akan dituntut.

Tapi suatu hari, si perimba takzim itu
terkabar melanggar pantangan
ia memaksa masuk hutan larangan
dan tak keluar lagi dalam wujud yang dikenal!

Orang-orang yakin, ia kawin dengan cindaku
(manusia harimau yang tak punya lekuk hidung)
di pedalaman jambi konon mereka berkampung.

sebagian menganggap si perimba malang
tersesat saat mengumpul buah gintan
atau tergoda punai tanah sehingga terdampar
di kampung orang bunian. ada desas-desus
ia hanyut menyeberangi sungai tengah malam,
diseret hantu lubuk, menjenguk roh-roh halus
yang tenggelam, lalu membawanya lesap ke hutan pagai
atau telah bertamu ia kepada orang pandak
dan mengajaknya mengembara ke sebelat, kerinci,
bukit tapan dan pelelawan, sepanjang bukit barisan
menyusuri garis-garis khayali yang tak nampak.

Apa pun, kabar terbaik bagi orang kampung
justru datang dari juru tenung
meski kedengarannya lebih celaka,
"ia telah mencoba ilmu tuah, mengikut jejak moyangnya
- o, moyang kita semua," katanya
sambil membelah buah limau
orang-orang menunggu
hampa, risau
"jadi harimau kumbang atau campa ia,
tak ada beda. belang atau putih, sama saja
sayang ia kena perangkap, kerna memang tak berbakat.

Nasib baik ia lepas, susah-payah, dan menjumpai
dunia gelap semata. melompat ia, kakinya berat sebelah,
bekas jerat, darah dan nanah. selesai sudah; seperti leluhur kita
ia memilih tersungkur dalam pekat rimba-raya
lupakanlah, tak elok merintang hari dengan dia yang pergi
tak kembali," berbisik si juru tenung,
kawan sekaligus seteru hidup di kampung
tangannya mengacau air limau dalam talam,
pertanda gelap peruntungan si perimba hilang tanpa salam
maka gema nama itu pun hilang
selama-lamanya. mengabur tak terbaca di ranji silsilah.
Tapi tidak di hati mereka yang percaya!

Mereka yang membuang pikiran buruk,
setulus doa burung pungguk: sesungguhnya ia
pergi bertapa, meniti ilmu hayati semesta
demi kita, yang tanpa sadar mulai menuntut
lewat pertanyaan-pertanyaan sialan
yang menggetarkan malam-malamnya!

(4)

Begitulah pusaran hutan keramat menolak jejak lintasan
apatah lagi mata kapak para peladang
gergaji beliung penggesek papan, pun pemburu,
penjerat kuau, penyasap madu
bahkan penyamun bukit timbun tulang
di masa lalu, mengambil jarak, takut makan kutukan
dan di masa kata bersilang, para pemberontak dan pecundang
sama-sama tak berhak menjadikannya kubu, lambang kejayaan.

Di masa sekarang, di manakah gerangan hutan itu berada
 (atau pernah ada)? bertanya anak-anak yang mengaji
kepada buya yang buta kedua matanya
bengkok sebelah kakinya tapi terang alifbata-nya
lurus siratal mustaqim-nya.

Hutan itu, kata buya, sang guru, sedekat urat lehermu
lebih dekat dengan pinggan makanmu
e lurah bertepi tidak, ke bukit mendaki bukan
datanglah angin, dan ada yang memanggil-manggil
untuk kembali, meski yang dipanggil tak ingin kembali
tak akan kembali karena semua tak ada lagi.

Sambil berucap buya raba belangnya
yang lama luntur di balik singgulung
putih sarung dan kain baju
atau seraya menuruni teleng tangga surau
(bagai menuruni lereng gunung)
sekali hatinya berbisik, "belang dosa itu mungkin juga
serupa lingkaran tahun di batang pohon
makin besar, makin melingkar ia dalam kambium
sementara di luar segalanya meninggi
serupa sukun, merbau atau jawi-jawi
sebagian runduk sembunyi
seperti ular bergelung dalam padi
semua belang, bisa dan taring,
kekal dalam diri!"

(5)

Inilah gerangan suatu madah: kisah keramat rimba raya
yang dulu ada dan bertuah, kini tinggal hampa
peladang dan perimba: pencipta hutan sakti
beserta lambang-lambang yang diberkati,
menjaganya dengan pantang larang,
dongeng dan kepercayaan, kini jadi tertuduh,
lintang-pukang, bagai simpai dan siamang
terusir jauh ke sebalik bukit kelabu
yang sebentar juga akan diserbu
gempita deru segala mesin, gulita debu segala musim
nasib mereka berkisai di kanopi pohon-pohon mati
bagai beruk diikat tali menjadi timba pecah
menunggu jatuh ke dasar kali dan sumur-sumur tua.

Mereka padahal saksi kejadian semua ini:
huma mereka dibakar, bukit-bukit dikeker,
hutan diukur, segala batas dan pancang
dicabut seakar-akar. mesin-mesin merangsek, berdentang
bagai satelit dan pesawat-pesawat ruang angkasa
semua besi segala baja, amoniak, tabung kaca
dirancang melewati jagad galaksi lingkaran tahun waktu cahaya
yang berabad-abad menjadi garis demarkasi
hutan sakti para perimba!

Tinggal api, kabut, dan asap yang menari
bumi hanya jelaga. langit hampa udara
setiap orang pingsan berebut zat asam.

O, pralaya rimba-raya!
Buah-buah busuk dan ranum
jatuh, berbondong-bondong hanyut ke kuala...

Siak-Tapan-Yogyakarta, 2013-2015-2017

Analisis Puisi:

Puisi "Hutan Sakti bagi Perimba" karya Raudal Tanjung Banua adalah sebuah karya yang menggambarkan hubungan mendalam antara manusia dan alam, khususnya hutan. Melalui narasi yang mistis dan simbolis, Raudal mengisahkan tentang hutan sebagai entitas sakral yang tidak hanya menyediakan kehidupan bagi manusia tetapi juga mengandung kekuatan magis yang tak terhingga. Puisi ini secara implisit mencerminkan kegelisahan terhadap perubahan yang merusak lingkungan akibat ulah manusia.

Bagian I: Mitos tentang Hutan Sakti

Bagian pertama puisi ini membuka pertanyaan mendalam: “Di manakah gerangan hutan sakti bagi perimba?” Hutan dalam puisi ini digambarkan sebagai sebuah tempat suci, yang tak terjamah oleh manusia. Ia adalah alam yang belum tercemar oleh peradaban, di mana pohon-pohon bercabang menjadi cahaya, dan segala peralatan manusia seperti parang dan pisau menjadi tumpul sebelum menyentuh hutan ini. Deskripsi ini memperlihatkan betapa sakralnya hutan tersebut, sebuah dunia yang berbeda, bahkan "planet lain" yang hidup dengan aturan dan kekuatannya sendiri.

Raudal menggambarkan bagaimana hutan ini dijaga oleh tuah ibu-tanah, menegaskan adanya kekuatan spiritual yang melindungi hutan dari intervensi manusia. Semua makhluk, termasuk ikan dan burung, tunduk pada aturan alam yang tak terpisahkan dari keharmonisan semesta.

Bagian II: Harimau Putih sebagai Penjaga Sakral

Di bagian kedua, muncul simbol harimau putih yang diyakini sebagai jelmaan leluhur. Harimau ini bertapa di bawah pohon jawi-jawi, menjadi simbol penjaga hutan yang mengawasi alam dengan penuh kebijaksanaan. Semua hewan dan tanaman di hutan tunduk pada kekuasaan harimau ini, menegaskan bahwa hutan ini adalah tempat di mana semua makhluk hidup dalam harmoni, terikat oleh hukum alam yang lebih tinggi dari hukum manusia.

Gambaran ini mengingatkan kita akan peran harimau sebagai penjaga alam dalam kepercayaan tradisional di banyak budaya, termasuk di Indonesia. Kehadiran harimau putih ini membawa nuansa mistis yang memperkuat pandangan bahwa hutan adalah tempat sakral yang harus dijaga dan dihormati.

Bagian III: Perimba yang Melanggar Pantangan

Bagian ketiga menceritakan tentang seorang perimba—seorang yang hidup di hutan dan memahami aturan alam—yang suatu hari melanggar pantangan dengan memasuki hutan larangan. Akibatnya, ia tidak pernah kembali dalam wujud yang dikenal. Kisah ini mencerminkan adanya konsekuensi besar bagi mereka yang tidak menghormati batas-batas alam dan melanggar keseimbangan yang telah ditetapkan.

Kisah perimba ini mencerminkan kekhawatiran terhadap pelanggaran manusia terhadap alam. Dalam konteks modern, cerita ini dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap eksploitasi hutan dan sumber daya alam secara sembarangan, yang sering kali menyebabkan kerusakan ekosistem.

Bagian IV: Hutan yang Kini Hilang

Pada bagian keempat, Raudal mulai mengarahkan pembaca ke kenyataan pahit tentang nasib hutan sakti tersebut. Pertanyaan anak-anak yang mengaji kepada buya tentang keberadaan hutan sakti menunjukkan bagaimana generasi muda mulai kehilangan jejak akan hubungan sakral antara manusia dan alam. Buya menjawab bahwa hutan itu kini hanya menjadi kenangan, sedekat urat leher kita, namun sudah hilang dalam kenyataan.

Di sinilah Raudal menyoroti bahwa hutan yang dulu sakral kini telah hilang, digantikan oleh peradaban modern yang serakah dan tak peduli terhadap kelestarian alam. Mesin-mesin, gergaji, dan kapak-kapak telah mengambil alih, memotong dan menghancurkan hutan tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya. Ini adalah kritik terhadap industrialisasi dan kapitalisme yang menghancurkan alam demi keuntungan.

Bagian V: Kiamat Ekologis dan Pesan Terakhir

Bagian kelima puisi ini menutup dengan nada yang lebih tragis. Raudal melukiskan bagaimana hutan sakti itu kini hanya tinggal kenangan yang hilang, digantikan oleh asap, kabut, dan api yang merusak. Pencipta hutan sakti, yaitu para peladang dan perimba, kini menjadi tertuduh dan terpinggirkan, kehilangan tempat tinggal dan identitas mereka seiring dengan hilangnya hutan.

Raudal menyampaikan pesan penting bahwa kerusakan hutan bukan hanya soal kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan nilai-nilai spiritual dan budaya yang mengikat manusia dengan alam. Hutan sakti yang dulu dianggap sebagai tempat penuh tuah kini hanyalah bayangan masa lalu, sebuah dunia yang telah hilang akibat keserakahan manusia.

Puisi "Hutan Sakti bagi Perimba" adalah sebuah puisi yang kaya akan makna dan simbolisme. Raudal Tanjung Banua dengan cermat merangkai narasi tentang hutan yang sakral, penjaganya, dan nasib mereka yang melanggar aturan alam. Namun, lebih dari sekadar cerita mistis, puisi ini adalah kritik tajam terhadap eksploitasi alam yang merusak ekosistem dan kebudayaan lokal.

Melalui puisi ini, Raudal mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan kita dengan alam. Ia menyadarkan kita bahwa hutan bukan hanya sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi juga tempat yang mengandung kekuatan spiritual dan tuah yang tak ternilai. Kehilangan hutan berarti kehilangan bagian penting dari identitas kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam.

Puisi Hutan Sakti bagi Perimba
Puisi: Hutan Sakti bagi Perimba
Karya: Raudal Tanjung Banua
© Sepenuhnya. All rights reserved.