Analisis Puisi:
Puisi "Hutan Sakti bagi Perimba" karya Raudal Tanjung Banua adalah sebuah karya yang menggambarkan hubungan mendalam antara manusia dan alam, khususnya hutan. Melalui narasi yang mistis dan simbolis, Raudal mengisahkan tentang hutan sebagai entitas sakral yang tidak hanya menyediakan kehidupan bagi manusia tetapi juga mengandung kekuatan magis yang tak terhingga. Puisi ini secara implisit mencerminkan kegelisahan terhadap perubahan yang merusak lingkungan akibat ulah manusia.
Bagian I: Mitos tentang Hutan Sakti
Bagian pertama puisi ini membuka pertanyaan mendalam: “Di manakah gerangan hutan sakti bagi perimba?” Hutan dalam puisi ini digambarkan sebagai sebuah tempat suci, yang tak terjamah oleh manusia. Ia adalah alam yang belum tercemar oleh peradaban, di mana pohon-pohon bercabang menjadi cahaya, dan segala peralatan manusia seperti parang dan pisau menjadi tumpul sebelum menyentuh hutan ini. Deskripsi ini memperlihatkan betapa sakralnya hutan tersebut, sebuah dunia yang berbeda, bahkan "planet lain" yang hidup dengan aturan dan kekuatannya sendiri.
Raudal menggambarkan bagaimana hutan ini dijaga oleh tuah ibu-tanah, menegaskan adanya kekuatan spiritual yang melindungi hutan dari intervensi manusia. Semua makhluk, termasuk ikan dan burung, tunduk pada aturan alam yang tak terpisahkan dari keharmonisan semesta.
Bagian II: Harimau Putih sebagai Penjaga Sakral
Di bagian kedua, muncul simbol harimau putih yang diyakini sebagai jelmaan leluhur. Harimau ini bertapa di bawah pohon jawi-jawi, menjadi simbol penjaga hutan yang mengawasi alam dengan penuh kebijaksanaan. Semua hewan dan tanaman di hutan tunduk pada kekuasaan harimau ini, menegaskan bahwa hutan ini adalah tempat di mana semua makhluk hidup dalam harmoni, terikat oleh hukum alam yang lebih tinggi dari hukum manusia.
Gambaran ini mengingatkan kita akan peran harimau sebagai penjaga alam dalam kepercayaan tradisional di banyak budaya, termasuk di Indonesia. Kehadiran harimau putih ini membawa nuansa mistis yang memperkuat pandangan bahwa hutan adalah tempat sakral yang harus dijaga dan dihormati.
Bagian III: Perimba yang Melanggar Pantangan
Bagian ketiga menceritakan tentang seorang perimba—seorang yang hidup di hutan dan memahami aturan alam—yang suatu hari melanggar pantangan dengan memasuki hutan larangan. Akibatnya, ia tidak pernah kembali dalam wujud yang dikenal. Kisah ini mencerminkan adanya konsekuensi besar bagi mereka yang tidak menghormati batas-batas alam dan melanggar keseimbangan yang telah ditetapkan.
Kisah perimba ini mencerminkan kekhawatiran terhadap pelanggaran manusia terhadap alam. Dalam konteks modern, cerita ini dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap eksploitasi hutan dan sumber daya alam secara sembarangan, yang sering kali menyebabkan kerusakan ekosistem.
Bagian IV: Hutan yang Kini Hilang
Pada bagian keempat, Raudal mulai mengarahkan pembaca ke kenyataan pahit tentang nasib hutan sakti tersebut. Pertanyaan anak-anak yang mengaji kepada buya tentang keberadaan hutan sakti menunjukkan bagaimana generasi muda mulai kehilangan jejak akan hubungan sakral antara manusia dan alam. Buya menjawab bahwa hutan itu kini hanya menjadi kenangan, sedekat urat leher kita, namun sudah hilang dalam kenyataan.
Di sinilah Raudal menyoroti bahwa hutan yang dulu sakral kini telah hilang, digantikan oleh peradaban modern yang serakah dan tak peduli terhadap kelestarian alam. Mesin-mesin, gergaji, dan kapak-kapak telah mengambil alih, memotong dan menghancurkan hutan tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya. Ini adalah kritik terhadap industrialisasi dan kapitalisme yang menghancurkan alam demi keuntungan.
Bagian V: Kiamat Ekologis dan Pesan Terakhir
Bagian kelima puisi ini menutup dengan nada yang lebih tragis. Raudal melukiskan bagaimana hutan sakti itu kini hanya tinggal kenangan yang hilang, digantikan oleh asap, kabut, dan api yang merusak. Pencipta hutan sakti, yaitu para peladang dan perimba, kini menjadi tertuduh dan terpinggirkan, kehilangan tempat tinggal dan identitas mereka seiring dengan hilangnya hutan.
Raudal menyampaikan pesan penting bahwa kerusakan hutan bukan hanya soal kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan nilai-nilai spiritual dan budaya yang mengikat manusia dengan alam. Hutan sakti yang dulu dianggap sebagai tempat penuh tuah kini hanyalah bayangan masa lalu, sebuah dunia yang telah hilang akibat keserakahan manusia.
Puisi "Hutan Sakti bagi Perimba" adalah sebuah puisi yang kaya akan makna dan simbolisme. Raudal Tanjung Banua dengan cermat merangkai narasi tentang hutan yang sakral, penjaganya, dan nasib mereka yang melanggar aturan alam. Namun, lebih dari sekadar cerita mistis, puisi ini adalah kritik tajam terhadap eksploitasi alam yang merusak ekosistem dan kebudayaan lokal.
Melalui puisi ini, Raudal mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan kita dengan alam. Ia menyadarkan kita bahwa hutan bukan hanya sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi juga tempat yang mengandung kekuatan spiritual dan tuah yang tak ternilai. Kehilangan hutan berarti kehilangan bagian penting dari identitas kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam.
Karya: Raudal Tanjung Banua