Puisi: Dialog (Karya Sobron Aidit)

Puisi "Dialog" karya Sobron Aidit mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kegelapan sosial dan spiritual dapat mempengaruhi pengalaman ...
Dialog

Akan selamanyakah awan gelap
akan selamanyakah hujan terus menggarang
kebakaran - pembunuhan dan penyiksaan
di tanah airku?

Semakin aku sendiri di kamarku
di jalanan, di kereta
antara Paris - Amsterdam
antara Amsterdam - Koln
justru kampung halamanku semakin dekat
kepadanya ingatanku semakin tertambat
ingat Chiang Kai-shek, setengah mati inginnya 
berkubur di daratan
tapi malah berakhirnya di Taiwan
dan tetua-tetua di Holland menunggu putusan
bagaimanapun tangan Tuhan
akan mengatakan dan memutuskan.

Jadi, kataku pada diriku
jangan lagilah ingat akan semua itu
di manapun dan kapanpun
yang buruk-buruk itu selalu ada
yang baik-baik itupun tetap mendampinginya
seperti "yang dan yin"
timbal-balik bersatu satu sama lain.

Jadi, kataku berdialog dengan diriku
bila di kamarku aku selalu bersama Tuhan
Dia dengar apa yang kukatakan
Dia tahu apa yang kurasakan
akan ketahuan apapun yang kusembunyikan
tapi Tuhan diam saja, tak mengatakan apa-apa
tak menurunkan mukjizat-Nya
lagi pula apa sih aku ini
yang penuh dosa dan tiap hari
menumpuk dosa.

Barangkali Tuhan senyum-senyum saja
"lucu ini anak manusia
ada-ada saja yang dipikirkannya
ada-ada saja yang dimintanya
doanya selalu buat kepentingan dirinya sendiri",
barangkali begitu Tuhan mengatakan
kini kembali aku yang tahu dan merasakan
anehnya dan gilanya aku toh tak malu-malu
tak jera-jera
walau di kampungku terus hujan - gelap
kebakaran dan kemiskinan
petir gledek sambar-menyambar
anehnya dan gilanya aku tetap sadar.

Paris, 7 Oktober 1999

Analisis Puisi:

Puisi "Dialog" karya Sobron Aidit adalah sebuah eksplorasi mendalam mengenai kegelapan sosial dan pribadi, serta dialog batin yang melibatkan pertanyaan eksistensial dan pencarian spiritual. Melalui struktur yang reflektif dan emosional, puisi ini menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana individu berusaha memahami dan berhadapan dengan tantangan serta kesedihan dalam hidup mereka.

Kegelapan Sosial dan Keterasingan Pribadi

Puisi ini dimulai dengan pernyataan yang penuh pertanyaan tentang kekejaman yang terus-menerus terjadi di tanah air penulis: "Akan selamanyakah awan gelap / akan selamanyakah hujan terus menggarang / kebakaran - pembunuhan dan penyiksaan / di tanah airku?" Pertanyaan ini mencerminkan rasa putus asa dan frustrasi terhadap keadaan sosial dan politik yang tampaknya tidak pernah berubah. Penulis merasa terasing, baik di tanah airnya maupun di luar negeri, seperti yang digambarkan dalam "di jalanan, di kereta / antara Paris - Amsterdam / antara Amsterdam - Koln."

Keterhubungan Emosional dan Sejarah

Sobron mencatat bahwa meskipun ia berada jauh dari tanah airnya, kampung halaman semakin dekat dalam ingatannya: "ingat Chiang Kai-shek, setengah mati inginnya / berkubur di daratan / tapi malah berakhirnya di Taiwan." Ini menunjukkan bagaimana pengalaman pribadi dan sejarah dapat memperdalam rasa keterhubungan dengan tanah air, bahkan saat berada di luar negeri. Perasaan tersebut juga mengungkapkan kerinduan dan ketidakmampuan untuk sepenuhnya melarikan diri dari masalah yang melanda kampung halaman.

Dialog dengan Diri Sendiri dan Tuhan

Puisi ini mengalir ke dalam dialog batin penulis dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Sobron menggambarkan momen refleksi ketika ia berbicara dengan dirinya sendiri, mencoba memahami dan mengatasi ketidakadilan dan penderitaan yang ia saksikan: "Jadi, kataku pada diriku / jangan lagilah ingat akan semua itu." Di sini, penulis mencoba untuk memisahkan dirinya dari pikiran-pikiran negatif dan mengingat bahwa baik dan buruk selalu berjalan beriringan, seperti konsep "yang dan yin."

Kebangkitan Spiritualitas dan Kesadaran

Dialog dengan Tuhan menjadi pusat dari puisi ini: "bila di kamarku aku selalu bersama Tuhan / Dia dengar apa yang kukatakan / Dia tahu apa yang kurasakan." Sobron merasakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, termasuk rahasia terdalam yang disembunyikan. Namun, Tuhan tampaknya diam dan tidak memberikan mukjizat atau solusi langsung: "tapi Tuhan diam saja, tak mengatakan apa-apa." Ini mencerminkan kebingungan dan rasa keterasingan penulis dalam berhubungan dengan Tuhan dan keputusannya dalam menghadapi penderitaan dan ketidakadilan.

Kesadaran dan Ironi

Penulis merasa ironis dan frustasi dengan sikap Tuhan dan dirinya sendiri: "Barangkali Tuhan senyum-senyum saja / 'lucu ini anak manusia / ada-ada saja yang dipikirkannya.'" Sobron menyadari ketidakmampuan dirinya untuk berubah meskipun menyadari kegelapan yang melanda: "anehnya dan gilanya aku tetap sadar." Meskipun ada kesadaran dan pengertian tentang keadaan, penulis tetap merasa terjebak dalam siklus penderitaan dan ketidakadilan.

Puisi "Dialog" karya Sobron Aidit adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang kegelapan sosial, keterasingan pribadi, dan pencarian spiritual. Melalui dialog batin dan refleksi, puisi ini mengungkapkan rasa putus asa dan frustasi penulis terhadap keadaan dunia dan hubungan dengan Tuhan. Dengan menggambarkan pengalaman pribadi dan refleksi emosional, Sobron menawarkan pandangan yang kaya dan kompleks tentang bagaimana individu berusaha memahami dan berhadapan dengan tantangan dan kesedihan dalam hidup mereka. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kegelapan sosial dan spiritual dapat mempengaruhi pengalaman pribadi dan bagaimana kesadaran akan penderitaan dapat berdampingan dengan ketidakmampuan untuk sepenuhnya mengatasi masalah tersebut.

"Puisi: Dialog"
Puisi: Dialog
Karya: Sobron Aidit

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.