Puisi: Seorang Lapar (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi "Seorang Lapar" karya Raudal Tanjung Banua menggambarkan bagaimana alam, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, telah dihancurkan dan ...
Seorang Lapar

Seorang lapar
meminta nafas kepada batu-batu dan cadas
Kaukah yang menutup mata saat fajar telah membuka?
Si Lapar menaiki bukit, matahari pun jadi

Jadi, inikah bahasa anggur yang kau tuang
ke gelas susu?
Si Lapar mungkin tak pemah tahu
sebab tak ia saksikan kelahiran itu
ia lahir di negeri padi, katamu
tapi tak pernah ia jumpai benih
sungai-sungai susu dalam bahasamu
hanya telaga garam yang keruh
ayah-ibunya terjerambab di situ
oleh lengking pluitmu yang berseteru.

Di tanah ini, humus telah jadi lumut
di laut karang-karang sudah larut
tapi Si Lapar tetap dengan nyanyinya
Sendiri
menunggu gelombang untuk berhanyut

Karena tak ada lagi di sini, katanya
lumbung kami jadi lambung entah siapa
maka dimohonnya nafsu,
akan dikunyahnya batu-batu dan cadas!

Denpasar, 1996

Analisis Puisi:

uisi "Seorang Lapar" karya Raudal Tanjung Banua adalah sebuah karya yang sarat dengan kritik sosial yang mendalam terhadap ketimpangan dan penindasan, khususnya yang dialami oleh rakyat kecil. Puisi ini menggunakan citra dan metafora yang kuat untuk menggambarkan perjuangan seorang yang lapar, simbol dari mereka yang terpinggirkan, kelaparan, dan ketidakberdayaan di tengah masyarakat yang tidak adil.

Lapar sebagai Simbol Penindasan

Dalam puisi ini, "Seorang Lapar" menjadi personifikasi dari rakyat yang tertindas dan kelaparan. Lapar tidak hanya sekedar rasa fisik yang dialami oleh seseorang, tetapi juga mewakili kekosongan, keterasingan, dan keputusasaan. Seorang yang lapar "meminta nafas kepada batu-batu dan cadas," menggambarkan kondisi yang begitu terdesak hingga memohon pada hal-hal yang tidak hidup. Batu dan cadas, yang biasanya melambangkan kekerasan dan kekakuan, di sini menjadi simbol dari keputusasaan yang dialami oleh mereka yang tertindas—mencari kehidupan di tempat yang tandus dan tak memberi harapan.

Pertanyaan "Kaukah yang menutup mata saat fajar telah membuka?" membawa kritik terselubung kepada mereka yang memiliki kuasa, yang mungkin menutup mata terhadap penderitaan rakyat ketika peluang untuk perubahan muncul. Fajar, simbol harapan dan awal yang baru, dianggap tidak terlihat oleh mereka yang mengalami kelaparan, karena kekuasaan dan penindasan menutup akses terhadap kesempatan.

Kritik terhadap Ketimpangan Sosial

Puisi ini juga menyinggung ketimpangan sosial yang terjadi di negeri yang katanya "negeri padi," tempat seharusnya kemakmuran dan keberkahan alam ada. Namun, bagi Si Lapar, "tak pernah ia jumpai benih," meski negeri ini dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Hal ini menggambarkan ironi di mana sumber daya yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang, sementara rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru terjebak dalam kemiskinan dan kelaparan.

Penggunaan metafora seperti "bahasa anggur yang kau tuang ke gelas susu" menunjukkan ketidaksesuaian antara janji-janji kemakmuran dan realitas yang ada. Anggur yang mewah dituangkan ke dalam gelas susu, lambang dari sesuatu yang sederhana dan bersahaja, menciptakan gambaran ketimpangan dan paradoks yang melanda masyarakat. Meskipun negara ini kaya akan sumber daya, kekayaan tersebut tidak merata dan tidak mencapai mereka yang membutuhkan.

Keputusasaan dan Pemberontakan Tersembunyi

Bagian terakhir dari puisi ini semakin mempertegas keputusasaan yang dialami oleh Si Lapar. Ia menyadari bahwa di tanahnya, "humus telah jadi lumut" dan "karang-karang sudah larut," yang berarti tanah dan laut, dua sumber utama kehidupan, telah rusak dan tidak lagi bisa diandalkan. Hal ini menggambarkan kehancuran lingkungan dan sumber daya yang semakin memperburuk kondisi mereka yang sudah menderita.

Namun, Si Lapar tidak diam. Meski ia sendirian dan tak berdaya, ia "tetap dengan nyanyinya," menunggu gelombang untuk membawanya pergi. Ini menunjukkan bahwa di tengah keputusasaan, masih ada keberanian dan pemberontakan tersembunyi dalam dirinya. "Lumbung kami jadi lambung entah siapa" adalah kritik keras terhadap bagaimana kekayaan dan sumber daya yang seharusnya menjadi milik rakyat kini dikuasai oleh pihak-pihak lain yang tidak peduli dengan nasib mereka. Si Lapar, meskipun tak punya apa-apa, tetap bertahan dengan perlawanan simbolisnya—memohon pada batu dan cadas, siap mengunyah hal-hal yang tidak bisa dimakan sebagai bentuk keteguhan dan sikap tak menyerah.

Puisi "Seorang Lapar" karya Raudal Tanjung Banua adalah sebuah potret suram tentang ketimpangan sosial dan keputusasaan yang dialami oleh rakyat kecil. Dengan bahasa yang penuh dengan metafora dan simbolisme, puisi ini menyampaikan kritik yang tajam terhadap mereka yang memegang kekuasaan namun tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Puisi ini juga menggambarkan bagaimana alam, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, telah dihancurkan dan tidak lagi dapat diandalkan oleh mereka yang paling membutuhkannya.

Raudal Tanjung Banua berhasil menyuarakan perasaan kelaparan dan penindasan melalui sosok Si Lapar, yang meskipun dalam kondisi terjepit, masih memiliki keberanian untuk terus bernyanyi dan menunggu perubahan. Ini adalah puisi yang menggugah hati, mengajak kita untuk tidak hanya memahami penderitaan yang ada di sekitar kita, tetapi juga untuk bertindak demi keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.

Puisi Seorang Lapar
Puisi: Seorang Lapar
Karya: Raudal Tanjung Banua
© Sepenuhnya. All rights reserved.