Puisi: Sampah-Sampah Mengapung (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi "Sampah-Sampah Mengapung" karya Raudal Tanjung Banua menggambarkan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap keadaan sosial dan lingkungan.
Sampah-Sampah Mengapung

Ini zaman sampah-sampah mengapung
orang-orang gugur di mataku
tiap hari makin banyak yang kubenci
dan yang membenci lebih banyak lagi
masuk, hatiku, kunci dari dalam, kunci yang dalam!
Cuaca semesta sedang buruk
para tukang tenung dan tukang sihir mabuk,
kepayang bayang-bayang kejayaan
tukang kebun tersingkir ke taman-taman api
para penyair bergerombol membincang diri sendiri
hatiku yang terasing menolak teronggok jadi sekilo daging!
"Hatiku, janganlah kau bersedih melihat makhluk-makhluk
yang sekedar penduduk. Mereka hanya penghuni mati
sebuah negeri di bawah garang matahari
tapi tak sanggup membakar sampah-sampah,
basah, berkilau lumpur warna-warni, terapung hanyut
melintasi taman-taman negeri.
Jangan kau bersedih."
Dengan ini hatiku menyala, melebihi matahari
mengubah sungai dan muara
jadi api, jadi lautan api...

Kalteng-Yogyakarta, 2010-2011

Analisis Puisi:

Puisi "Sampah-Sampah Mengapung" karya Raudal Tanjung Banua mengangkat tema kritis dan emosional yang menggambarkan suasana sosial dan perasaan pribadi di tengah kerusakan dan kemunduran. Dengan gaya bahasa yang kuat dan imaji yang tajam, puisi ini menggambarkan sebuah dunia yang terpuruk dalam kegelapan dan kebingungan.

Kondisi Sosial dan Ketidakpuasan

Puisi ini dimulai dengan gambaran zaman yang penuh dengan "sampah-sampah mengapung," sebuah metafora untuk kekacauan dan ketidakberesan dalam masyarakat. "Orang-orang gugur di mataku" menunjukkan bahwa penulis merasa kecewa dan terasing dari apa yang terjadi di sekelilingnya. "Tiapt hari makin banyak yang kubenci / dan yang membenci lebih banyak lagi" menekankan peningkatan ketegangan dan kebencian dalam masyarakat, mencerminkan konflik yang semakin meruncing.

Krisis dan Kekacauan

"Cuaca semesta sedang buruk" menciptakan suasana pesimistis yang diperkuat oleh gambaran "para tukang tenung dan tukang sihir mabuk," yang mungkin menggambarkan ketidakmampuan masyarakat untuk menangani krisis atau mencari solusi yang efektif. Frasa ini juga menunjukkan bahwa mereka yang seharusnya memiliki kekuatan atau pengetahuan untuk membantu malah terjerumus dalam kegelapan dan kekacauan.

Kritik terhadap Keadaan Sosial

Kritik tajam terlihat dalam baris "tukang kebun tersingkir ke taman-taman api," yang menyiratkan bahwa mereka yang berusaha melakukan sesuatu yang positif atau produktif justru dikeluarkan atau diabaikan. "Para penyair bergerombol membincang diri sendiri" mencerminkan ketidakmampuan intelektual atau kreatif untuk menghadapi masalah yang lebih besar, dan "hatiku yang terasing menolak teronggok jadi sekilo daging" mengungkapkan ketidakmauan penulis untuk hanya menjadi bagian dari kekacauan tanpa makna atau tujuan.

Pesan Harapan dan Kebangkitan

Meskipun puisi ini menggambarkan situasi yang suram, ada pesan harapan dan kebangkitan di akhir. "Hatiku menyala, melebihi matahari / mengubah sungai dan muara / jadi api, jadi lautan api..." menunjukkan tekad untuk mengatasi kegelapan dan kerusakan. Proses perubahan yang digambarkan sebagai "api" dan "lautan api" mencerminkan dorongan untuk transformasi dan pembaruan, meskipun itu memerlukan usaha dan perjuangan yang besar.

Puisi "Sampah-Sampah Mengapung" karya Raudal Tanjung Banua adalah puisi yang menggambarkan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap keadaan sosial dan lingkungan. Dengan menggunakan metafora yang kuat dan imaji yang menggugah, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan keadaan dunia di sekeliling mereka dan mencari cara untuk melakukan perubahan. Meskipun menggambarkan kegelapan dan kerusakan, puisi ini juga menyampaikan pesan harapan dan tekad untuk mengatasi tantangan dan mencapai pembaruan.

Puisi: Sampah-sampah Mengapung
Puisi: Sampah-Sampah Mengapung
Karya: Raudal Tanjung Banua

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.