Puisi: Ladang Bukit Menurun (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi "Ladang Bukit Menurun" karya Raudal Tanjung Banua adalah penghargaan terhadap kerja keras dan ketahanan para petani yang mengolah ladang di ...
Ladang Bukit Menurun

Penat mendaki, kami berladang
di jalan bukit menurun
Kami tanam gambir, pisang, dan mentimun
Kami sisir semak mencari mata air
nun di bawah pohon lebat daun

Kami dirikan pondok di pusar huma
Tempat menggusah hama dan burung-burung
Dangau-dangau terbuka kami buatkan pula
tak berdinding. Tempat singgah orang lalu
ke bukit atau ke lurah
ke mudik hulu, ke hilir-hilir

Di bukit ladang menurun
keringat dan cinta kami
berbuah ranum
Bagai pantun dan syair
di tangkai-tangkai padi
dan butir gandum.

2015

Analisis Puisi:

Puisi "Ladang Bukit Menurun" karya Raudal Tanjung Banua adalah sebuah karya yang menggambarkan kehidupan pedesaan dan kerja keras para petani yang mengolah ladang di kawasan bukit. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini merayakan dedikasi dan cinta yang tertanam dalam setiap usaha bertani di tanah yang menurun.

Kehidupan di Ladang Bukit

Puisi ini dimulai dengan gambaran kehidupan sehari-hari para petani yang "penat mendaki, kami berladang / di jalan bukit menurun." Frasa ini mengungkapkan kerja keras dan perjuangan fisik yang harus dihadapi dalam mengolah ladang di area yang menurun. Menanam tanaman seperti gambir, pisang, dan mentimun di medan yang menantang mencerminkan ketahanan dan dedikasi para petani.

Pencarian Mata Air dan Pembangunan Pondok

Penulis melanjutkan dengan menggambarkan usaha petani dalam mencari sumber daya yang penting, yaitu mata air: "Kami sisir semak mencari mata air / nun di bawah pohon lebat daun." Usaha ini menunjukkan pentingnya akses terhadap air untuk keberhasilan pertanian dan ketahanan hidup. Selain itu, pembuatan pondok di pusar huma ("Tempat menggusah hama dan burung-burung") menandakan kreativitas dan adaptasi petani terhadap lingkungan mereka. Pondok tersebut berfungsi sebagai tempat perlindungan dan tempat beristirahat bagi mereka yang melintasi bukit.

Penerimaan dan Keseharian

Puisi ini juga mencerminkan bagaimana kehidupan di ladang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. "Dangau-dangau terbuka kami buatkan pula / tak berdinding" menunjukkan bahwa tempat berlindung yang sederhana namun fungsional dibangun untuk melayani orang-orang yang lewat, baik itu menuju bukit, lurah, mudik hulu, atau hilir-hilir. Ini menggambarkan semangat berbagi dan saling membantu yang kental dalam komunitas pedesaan.

Hasil dan Makna Pekerjaan

Pada akhirnya, puisi ini menyatakan bahwa kerja keras para petani tidak sia-sia: "Di bukit ladang menurun / keringat dan cinta kami / berbuah ranum." Penulis mengaitkan hasil kerja keras dengan hasil yang memuaskan, seperti "pantun dan syair / di tangkai-tangkai padi / dan butir gandum." Di sini, hasil pertanian tidak hanya dilihat sebagai produk fisik tetapi juga sebagai simbol dari usaha, dedikasi, dan kearifan lokal.

Puisi "Ladang Bukit Menurun" karya Raudal Tanjung Banua adalah penghargaan terhadap kerja keras dan ketahanan para petani yang mengolah ladang di medan yang menantang. Melalui gambaran yang detail dan simbolis, puisi ini merayakan dedikasi, kreativitas, dan semangat berbagi dalam kehidupan pedesaan. Setiap elemen—dari pencarian mata air hingga pembuatan pondok dan hasil pertanian—menunjukkan betapa pentingnya kerja keras dan cinta dalam setiap aspek kehidupan. Puisi ini mengajak pembaca untuk menghargai usaha dan kearifan yang terlibat dalam bertani serta merayakan hasil yang berbuah ranum dari dedikasi yang tulus.

"Puisi: Ladang Bukit Menurun"
Puisi: Ladang Bukit Menurun
Karya: Raudal Tanjung Banua
© Sepenuhnya. All rights reserved.