Puisi: Di Benteng Somba Opu, Makassar (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi "Di Benteng Somba Opu, Makassar" menyoroti pentingnya menghargai warisan sejarah sambil mengkritik kemajuan dan kekuasaan yang mungkin ...
Di Benteng Somba Opu, Makassar
(: Aslan, Akhyar, Hendra Gunawan)

Jangan katakan kita akan menonton reruntuhan
Karena bagiku tak ada yang runtuh kecuali jangkar terakhir
yang diangkat dan meriam penghabisan ditembakkan
setelah itu diam. Bumi kembali pulih dalam semalam
Semua dinding semua tiang kembali tegak di hati setiap orang
di sepanjang tepian Jeneberang

Lihatlah, batu bata perkasa itu masih menyusun dirinya 
dalam ukuran tak biasa, seperti badan para prajurit kinantan 
yang menyatu dengan tanah dan nyala api, tiang serta temali, 
layar pun buritan, tanpa menunggu jerit pluit 
dan surat jalan syahbandar. Masih menyatu tegak, 
meski sebagian terbenam ke kedalaman
bendera dan samanera masih mengibarkan kukuk ayam jantan
(tak ada tengkorak bersilang). Kapal-kapal besi pulang 
berbaris

seperti belibis usiran, ke balik cakrawala
ke senjakala peradaban (matahari yang terbenam). 
Tak ada jaminan
mereka tak kembali, meski bukan dengan meriam 
ditembakkan
tapi dengan kilauan, warna-warni, menyusup di cahaya fajar pagi
merasuk hingga ke petang, riuh malam hari dan mimpi-mimpi
Pantai Losari. Orang-orang datang, orang-orang pulang

ke rumah-rumah adat yang dibuat untuk mengenang
daeng dan para puang pengembang dan penisik layar pinisi 
di tepian Jeneberang yang kini jadi rawa-rawa 
mengeras sepi. O, masih ada Daeng Serrang yang bercerita dan menari
di sudut hening Somba Opu, dari mana kita duduk 
memandang 
segala yang nampak dan tak nampak, segala yang bergerak dan berlalu 
Maka semua berlintasan dalam diam, hingga bubungan 
rumah-rumah adat
mulai timbul-tenggelam serupa kapal lepas tambatan. 
Orang-orang bermulut gagu 
menampik dada dan menunjuk-nunjuk kebesaran leluhur
di jendela dan pintu-pintu mereka yang tak kunjung terbuka. 

Kita pun bertanya:
Benarkah dari jendela dan pintu-pintu rumah adat Toraja, Bone atau Selayar
kebesaran itu tampak dan rindu-dendam masa silam lunas terbayar?

Aku tak tahu. Tapi jika deretan rumah-rumah adat  ini  hendak mengabadikan 
reruntuhan Somba Opu dalam pesta cahaya lampu 
kekinianmu,
maka percayalah ia telah lebih dulu runtuh, hanyut atau 
berlayar 
ke muaranya sendiri yang sempit dan mengerikan 

Sedang Somba Opu tak pernah runtuh 
kecuali oleh kekuasaanmu sendiri: 
berebut kantor-kantor besar di bandar Makassar!

2011

Analisis Puisi:

Puisi "Di Benteng Somba Opu, Makassar" karya Raudal Tanjung Banua mengeksplorasi tema sejarah, identitas, dan refleksi sosial melalui lensa runtuhnya Benteng Somba Opu di Makassar. Melalui penggunaan imaji kuat dan gaya bahasa yang reflektif, puisi ini menyajikan sebuah pandangan mendalam mengenai nilai sejarah dan bagaimana masa lalu berinteraksi dengan kenyataan kontemporer.

Tema dan Makna Puisi

  • Keteguhan dan Keberlanjutan Sejarah: Puisi ini memulai dengan pernyataan bahwa meskipun secara fisik Benteng Somba Opu mungkin mengalami kerusakan, secara simbolis, benteng ini tetap teguh dalam ingatan dan hati masyarakat. “Jangan katakan kita akan menonton reruntuhan / Karena bagiku tak ada yang runtuh kecuali jangkar terakhir” menegaskan bahwa keruntuhan fisik tidak berarti keruntuhan dalam makna dan ingatan. Meskipun bagian dari benteng mungkin terbenam atau hilang, “Semua dinding semua tiang kembali tegak di hati setiap orang”, sejarah dan nilai-nilai yang dilambangkan oleh Benteng Somba Opu tetap utuh.
  • Keterhubungan dengan Sejarah dan Budaya Lokal: Penulis menggambarkan batu bata dan struktur benteng sebagai bagian dari identitas dan budaya lokal yang menyatu dengan tanah dan api. “Lihatlah, batu bata perkasa itu masih menyusun dirinya / dalam ukuran tak biasa, seperti badan para prajurit kinantan” menunjukkan bahwa struktur fisik benteng mencerminkan kekuatan dan keberanian para pendahulu. Benteng ini berfungsi sebagai simbol dari peradaban yang telah melalui banyak perubahan, tetapi tetap menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya lokal.
  • Pertanyaan tentang Makna dan Identitas Kontemporer: Puisi ini juga mengajukan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat saat ini berhubungan dengan sejarah dan identitas mereka. “Benarkah dari jendela dan pintu-pintu rumah adat Toraja, Bone atau Selayar / kebesaran itu tampak dan rindu-dendam masa silam lunas terbayar?” mengekspresikan keraguan apakah identitas dan kebesaran masa lalu dapat dipahami dan dihargai dalam konteks modern. Ini menggambarkan ketegangan antara melestarikan nilai-nilai sejarah dan menghadapi realitas kontemporer yang mungkin terputus dari masa lalu.
  • Kritik terhadap Kemajuan dan Kekuasaan: Penulis mengkritik kemajuan modern yang mungkin melupakan atau meremehkan nilai-nilai sejarah. “Sedang Somba Opu tak pernah runtuh / kecuali oleh kekuasaanmu sendiri: / berebut kantor-kantor besar di bandar Makassar!” menyiratkan bahwa keruntuhan sejati bukanlah fisik, tetapi terjadi dalam bentuk korupsi dan keserakahan kekuasaan. Kritik ini menggarisbawahi bagaimana masyarakat terkadang mengabaikan warisan sejarah mereka demi kepentingan materi dan politik.

Gaya Bahasa dan Teknik Puisi

  • Gaya Bahasa Reflektif dan Imaginatif: Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang reflektif dan imajinatif untuk menyampaikan pesan. “Batu bata perkasa itu masih menyusun dirinya / dalam ukuran tak biasa” menggunakan imaji visual untuk menghidupkan kembali gambaran Benteng Somba Opu dan makna simbolisnya. Gaya bahasa ini membantu menciptakan suasana yang mendalam dan memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan hubungan antara masa lalu dan masa kini.
  • Penggunaan Imaji Visual dan Sensorik: Penulis menggunakan imaji visual yang kuat untuk menggambarkan kondisi benteng dan perubahan yang terjadi. “Kapal-kapal besi pulang / berbaris seperti belibis usiran” memberikan gambaran jelas tentang pergeseran dari masa lalu ke masa kini. Imaji ini menciptakan kontras antara kemegahan sejarah dan realitas kontemporer yang lebih pragmatis.
  • Metafora dan Simbolisme: Metafora seperti “Somba Opu tak pernah runtuh / kecuali oleh kekuasaanmu sendiri” digunakan untuk menggambarkan bagaimana keruntuhan bisa lebih dari sekadar fisik, tetapi juga melibatkan perubahan dalam nilai-nilai dan etika masyarakat. Simbolisme ini memperkuat pesan tentang pentingnya menghargai dan memelihara warisan sejarah.

Pesan Moral dan Nilai dalam Puisi

  • Pelestarian Warisan Sejarah: Puisi ini mengajarkan pentingnya menghargai dan memelihara warisan sejarah, meskipun perubahan zaman mungkin membuatnya tampak kurang relevan. Warisan sejarah seperti Benteng Somba Opu merupakan bagian dari identitas dan budaya yang harus dihargai. Menjaga ingatan dan makna di balik struktur fisik adalah bagian penting dari pelestarian budaya.
  • Kritik terhadap Korupsi dan Kekuasaan: Puisi ini juga mengkritik kemajuan dan kekuasaan yang mengabaikan atau meremehkan nilai-nilai sejarah. Keserakahan dan korupsi dianggap sebagai bentuk keruntuhan yang lebih serius daripada keruntuhan fisik. Pesan ini menggarisbawahi pentingnya integritas dan etika dalam menjalankan kekuasaan serta menjaga warisan budaya.
  • Refleksi terhadap Identitas Kontemporer: Puisi ini mendorong pembaca untuk merenungkan bagaimana identitas dan kebesaran masa lalu dipahami dan dihargai dalam konteks modern. Identitas historis tidak boleh diabaikan atau terputus dalam era kontemporer.
Puisi "Di Benteng Somba Opu, Makassar" karya Raudal Tanjung Banua adalah sebuah karya reflektif yang mengeksplorasi hubungan antara sejarah, identitas, dan kemajuan. Melalui penggunaan imaji kuat dan gaya bahasa yang reflektif, puisi ini menyoroti pentingnya menghargai warisan sejarah sambil mengkritik kemajuan dan kekuasaan yang mungkin mengabaikan nilai-nilai tersebut. Dengan menggambarkan Benteng Somba Opu sebagai simbol kekuatan dan identitas, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana masa lalu berinteraksi dengan kenyataan kontemporer dan pentingnya menjaga integritas budaya dalam menghadapi perubahan zaman.

Puisi Di Benteng Somba Opu, Makassar
Puisi: Di Benteng Somba Opu, Makassar
Karya: Raudal Tanjung Banua

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.