Api Bawah Tanah
(: bagi mereka yang bergerak dan tetap nyala)
Hamparan diam tanah gambut
padang tidur belukar perdu
hidup terbelit cinta dan maut
dekat atau jauh, tersembunyi rinduku
dan takutmu.
Sebuah titik-api nyala
di akar sebatang pohon duri
duri yang menjaga
akar yang menghidupkan
secuil titik api
jadi api bawah tanah
sabar menanti
yang bakal runtuh
dan musnah.
Jadi padang basah ini berasap
bukan tanpa sebab. langit yang tabah
menerima pengaduan
sudah mencatat: setelah pohon-pohon diupacarai
lalu ditebang, huma digusur kota dibangun
jadi kebun seluas bumi, di mana taman bunga
matahari? Lalu siapa yang bisa
membujuk api? Tak ada.
Kecuali pintaku pada dunia:
Jangan beri aku belukar perdu
menyimpan onak, ular beludak
beri aku sebatang pohon duri
melintas batas padang kerdilmu!
Tapi kau dan sepasukan angin gila
mengepungku dari arah rawa-rawa
dengan tubuh luka dan berdarah
erat kupeluk pohon duri masa kecilku
seperti tubuh ibu yang bergetah
merekat ingatanku sebelum pergi jauh
- bertahan dari runtuh
Lalu angin santer menjala siapa saja
bringas, menggerakkan sepasukan ilalang
mengepungku di lain sisi, bagai penyamun buta
menunggu yang tersekap
jatuh ke bumi.
Ketahuilah wahai dunia
aku tak takut jatuh
aku hanya takut nyangkut
lalu tampak seperti jatuh!
Kemudian datanglah masa itu
masa di mana ibu-pohon-duriku ditebang
seribu titik api dipadamkan
dan seribu berkobar lagi, sendiri
maka aku berkata, selirih gemertak ranting patahan
seperti bisa ular derik musiman:
Kau yang membunuhku
akan dibunuh oleh waktu
setiap yang dipadamkan
akan nyala lebih dalam
Setiap yang dilenyapkan
akan bersekutu dengan akar
jadi api bawah tanah,
jadi puisi tanpa nama
jadi lapar seribu nama!
Pelaihari - Yogyakarta, 2007
Karya: Raudal Tanjung Banua