Puisi: Aku (Karya Sobron Aidit)

Puisi "Aku" karya Sobron Aidit menggarisbawahi pengalaman individu atau kelompok yang merasa menjadi sisa dari generasi yang hilang namun tetap ...
Aku

Aku adalah sisa fosil dari generasi yang hilang
tapi nafsu hidupku sulit layu - terus berkembang
tak mau hidup seratus tahun lagi
terlalu banyak menyusahkan orang.

Aku adalah angin - udara
ada di mana-mana dan mampu ke mana-mana
aku adalah titisan kapas - ringan melepas
aku adalah rotan - liat tak patah - tapi bisa putus.

Sudah terlalu banyak aku kehilangan
keluarga dan nyawa-nyawa teman-teman
seperti kata temanku - seorang penyair
kuburan kami ada di mana-mana
ada di pelosok dan pojok-pojok dunia
kami dulu adalah anak-anak Nusantara
tapi terusir - terpinggir - tak bertanah-air
rasa rindu-kangen - sudah tak tajam lagi
tanah-air kami adalah kebebasan itu sendiri
garam siksa dunia adalah makanan kami
ada sumber utamanya yang bikin kami jadi begini
ratusan kami masih berkehidupan
tapi tetap tak masuk hitungan
kami adalah sisa fosil dari generasi yang hilang
tapi semangat hidup kami - tumbuh dan terus berkembang
di mana ada tanah dan bibit bisa tumbuh
turunan kami terus bersemi - bagaikan padang-ilalang.

Paris, 28 Januari 2007

Analisis Puisi:

Puisi "Aku" karya Sobron Aidit adalah karya yang mengungkapkan tema-tema tentang kehilangan, ketahanan, dan eksistensi. Melalui penggunaan metafora yang kuat dan pernyataan yang reflektif, puisi ini menggarisbawahi pengalaman individu atau kelompok yang merasa menjadi sisa dari generasi yang hilang namun tetap memiliki semangat hidup yang tak kunjung padam.

Sisa Fosil dan Ketahanan

Puisi dimulai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa si tokoh puisi adalah "sisa fosil dari generasi yang hilang." Metafora ini menggambarkan seseorang yang merasa menjadi peninggalan dari masa lalu, mungkin merasa terabaikan atau terlupakan. Namun, meskipun dianggap sebagai fosil, si tokoh puisi memiliki "nafsu hidup" yang sulit layu dan terus berkembang. Ini menunjukkan kontras antara keadaan fisik atau sosial yang mungkin tampak usang dengan semangat hidup yang tetap kuat.

Pernyataan "tak mau hidup seratus tahun lagi, terlalu banyak menyusahkan orang" mengindikasikan keengganan untuk menjadi beban atau mengulangi kesalahan masa lalu. Ini bisa juga mencerminkan keinginan untuk melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan mencari kebebasan.

Metafora Alam: Angin, Kapas, dan Rotan

Puisi ini menggunakan berbagai metafora alam untuk menggambarkan karakter si tokoh puisi:
  • Angin dan Udara: "Aku adalah angin - udara", menunjukkan kehadiran yang universal dan kemampuannya untuk bergerak bebas. Ini melambangkan keberadaan yang tidak terikat oleh tempat atau waktu, serta kemampuannya untuk menjangkau berbagai tempat.
  • Titisan Kapas: "Aku adalah titisan kapas - ringan melepas", menunjukkan keringanan dan kelenturan. Kapas di sini melambangkan keleluasaan dan kemampuan untuk bergerak dengan bebas, tanpa beban yang berat.
  • Rotan: "Aku adalah rotan - liat tak patah - tapi bisa putus", melambangkan ketahanan dan kekuatan. Rotan, meskipun kuat dan fleksibel, tetap bisa putus, menggambarkan kekuatan yang memiliki batasan.
Metafora-metafora ini bersama-sama membentuk gambaran tentang seorang individu atau kelompok yang kuat namun juga memiliki kerentanannya sendiri.

Kehilangan dan Pengasingan

Di bagian selanjutnya, puisi menyentuh tema kehilangan dengan menyebutkan "keluarga dan nyawa-nyawa teman-teman" yang telah hilang. Kalimat "kuburan kami ada di mana-mana, ada di pelosok dan pojok-pojok dunia" menggambarkan bagaimana mereka yang hilang tersebar di berbagai tempat, seolah-olah kehilangan itu bersifat universal dan meluas.

Teman si tokoh puisi, seorang penyair, menyebutkan bahwa mereka "dulu adalah anak-anak Nusantara" tetapi sekarang merasa "terusir - terpinggir - tak bertanah-air." Ini mencerminkan pengalaman sejarah yang penuh perjuangan, pengasingan, dan ketidakpastian tentang tempat yang dianggap sebagai rumah.

Kebebasan dan Ketahanan

Terlepas dari semua kehilangan dan kesulitan, puisi ini menyampaikan bahwa "tanah-air kami adalah kebebasan itu sendiri." Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak memiliki tempat yang pasti, kebebasan adalah hal yang mereka anggap sebagai rumah yang sejati. "Garam siksa dunia adalah makanan kami" melambangkan bahwa mereka telah mengalami penderitaan tetapi tetap bertahan.

Pernyataan terakhir "ratusan kami masih berkehidupan tapi tetap tak masuk hitungan" menunjukkan bahwa meskipun jumlah mereka banyak, mereka tetap dianggap sebagai pihak yang terpinggirkan dan tidak diperhitungkan dalam masyarakat. Namun, "semangat hidup kami - tumbuh dan terus berkembang" menggambarkan bahwa meskipun terpinggirkan, semangat mereka terus bersemi dan tumbuh seperti padang ilalang yang tak terhentikan.

Puisi "Aku" karya Sobron Aidit adalah pernyataan mendalam tentang keberadaan, kehilangan, dan ketahanan. Dengan menggunakan metafora alam dan refleksi personal, puisi ini mengungkapkan perasaan tentang bagaimana individu atau kelompok yang terpinggirkan terus bertahan dan berkembang meskipun menghadapi berbagai tantangan dan pengabaian.

Karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang pentingnya keberanian dan semangat hidup dalam menghadapi ketidakpastian dan kehilangan. Meskipun terpinggirkan dan dianggap sebagai "sisa fosil," semangat dan kebebasan adalah hal yang tetap menjadi bagian dari identitas mereka, menggambarkan ketahanan dan keberlanjutan hidup meskipun dalam situasi yang sulit.

Puisi Aku
Puisi: Aku
Karya: Sobron Aidit

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.