Analisis Puisi:
Puisi "Tandatanya Hariesok" karya Remy Sylado mengeksplorasi tema kesedihan, transformasi, dan ironi kehidupan dalam sebuah narasi yang sarat dengan metafora dan refleksi sosial.
Transformasi dan Metamorfosis: Puisi ini menggunakan metafora transformasi ulat menjadi kupu-kupu untuk menggambarkan perubahan dan evolusi dalam kehidupan manusia. Seperti ulat yang hidup dalam kepompong sebelum berubah menjadi kupu-kupu, manusia juga mengalami proses perubahan dan pertumbuhan yang tidak terelakkan.
Grafiti sebagai Ekspresi Kesedihan: Grafiti yang dibuat oleh ulat dalam kepompong menjadi simbol ekspresi kesedihan dan ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada. Grafiti tersebut menjadi sarana untuk mengekspresikan kekecewaan akan nasib dan ketidakadilan yang dialami.
Ironi dan Kritik Sosial: Puisi ini menyoroti ironi dalam kehidupan di mana individu yang seharusnya melindungi dan menjaga keadilan, seperti para pemimpin atau "bapak-bapak", justru menjadi "maling" yang memperkaya diri sendiri atas nama tugas negara. Ini merupakan kritik sosial terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang merajalela di berbagai tingkatan pemerintahan.
Refleksi tentang Kehidupan dan Kematian: Puisi ini juga merenungkan tentang siklus kehidupan dan kematian. Meskipun dihadapkan pada kesedihan dan ketidakpastian, manusia tetap harus melanjutkan perjalanan hidupnya, sebagaimana ulat yang harus melewati proses metamorfosis menuju kehidupan yang baru.
Penggunaan Bahasa yang Kuat: Sylado menggunakan bahasa yang kuat dan gambaran yang kuat untuk menyampaikan pesan puisinya. Pemilihan kata-kata seperti "ulat", "kupu-kupu", "grafiti", dan "maling" memperkuat makna puisi dan membangun citra yang kuat dalam pikiran pembaca.
Puisi "Tandatanya Hariesok" secara halus mengajak pembaca untuk merenungkan tentang keadaan manusia dan masyarakat, serta mengingatkan akan pentingnya mempertahankan nilai-nilai keadilan, integritas, dan kemanusiaan dalam menjalani kehidupan.
Karya: Remy Sylado