Puisi: Senja di Bulu Matamu (Karya Joshua Igho)

Puisi "Senja di Bulu Matamu" menggambarkan perasaan kerinduan yang datang bersama waktu. Senja, yang merupakan simbol dari perubahan atau akhir ...
Senja di Bulu Matamu

Senja luruh di bulu matamu
menjelma rindu
melambaikan sunyi
aku termangu,
menunggu
yang telah berlalu.

2018

Analisis Puisi:

Puisi "Senja di Bulu Matamu" karya Joshua Igho adalah sebuah karya yang menyelami kedalaman perasaan tentang waktu, kerinduan, dan kenangan yang telah berlalu. Dalam puisi yang singkat namun penuh makna ini, penulis menggunakan metafora yang halus dan elegan untuk menggambarkan perasaan yang sangat emosional, terkait dengan kehilangan dan harapan yang belum terwujud.

"Senja luruh di bulu matamu"

Puisi ini dibuka dengan kalimat yang memvisualisasikan senja yang "luruh" di bulu mata seseorang. Penggunaan kata "luruh" memberikan kesan bahwa senja bukan hanya sekadar waktu atau fenomena alam, tetapi juga sebuah perasaan yang menyelusup begitu dalam ke dalam diri seseorang. Senja di sini bukan hanya menggambarkan waktu menjelang malam, tetapi juga sebagai simbol perubahan, perasaan yang memudar, atau bahkan kerinduan yang datang begitu tiba-tiba.

Bulu mata, yang terletak di area wajah yang sangat dekat dengan mata, menggambarkan kedekatan dan keintiman. Senja yang "luruh" di bulu mata mengindikasikan bahwa perasaan atau kenangan tersebut datang begitu dekat dan menggelayuti hati, terasa sangat personal dan dalam. Ini memberi kesan bahwa perasaan yang ditulis oleh penyair tidak hanya tentang kejadian atau waktu, tetapi tentang kedalaman pengalaman emosional yang ada dalam diri orang yang memandang senja tersebut.

"Menjelma rindu"

Kalimat ini melanjutkan kesan yang telah dibangun sebelumnya. "Menjelma rindu" menggambarkan bagaimana perasaan tersebut tumbuh dan terbentuk dalam pikiran dan hati. Rindu bukan sekadar perasaan yang datang begitu saja, tetapi sesuatu yang "menjelma," berkembang, dan mewujud dalam bentuk yang lebih nyata. Dalam konteks ini, rindu menjadi suatu entitas yang bisa dirasakan, bukan hanya sebagai konsep abstrak.

Metafora "menjelma" juga memberi gambaran bahwa rindu itu tidak datang secara tiba-tiba, tetapi muncul secara bertahap, berkembang dalam keheningan, dan perlahan mengisi ruang-ruang kosong dalam diri seseorang. Proses ini bisa jadi berkaitan dengan kenangan yang datang bersama senja, suatu pengalaman yang membekas di hati.

"Melambaikan sunyi"

Kalimat ini semakin memperkuat suasana kesendirian dalam puisi. "Melambaikan sunyi" bukan hanya sekadar menggambarkan keadaan diam atau sepi, tetapi seakan memberi bentuk pada kesunyian itu sendiri. Ada sebuah lambaian yang terasa seperti undangan, tetapi juga sebuah peringatan bahwa kesunyian itu tak bisa dihindari. Lambaian ini, yang datang bersama rindu, menambah nuansa kesendirian yang mendalam. Rindu dan sunyi menjadi dua sisi dari perasaan yang tidak terpisahkan dalam puisi ini.

Kesunyian di sini bukanlah kesepian yang biasa, tetapi lebih kepada ruang kosong yang diciptakan oleh kenangan dan rindu yang telah lama terpendam. Dalam konteks ini, sunyi menjadi ruang bagi kenangan yang datang kembali, sesuatu yang menghantui dan sulit untuk diterima atau dilupakan.

"Aku termangu, menunggu yang telah berlalu"

Bagian ini mengungkapkan perasaan keterjebakan dalam waktu yang telah berlalu. "Termangu" menggambarkan seseorang yang terdiam, terhenti dalam waktu, tidak dapat bergerak maju karena terhanyut dalam kenangan dan perasaan yang telah lewat. Menunggu "yang telah berlalu" menunjukkan bahwa ada suatu harapan atau kerinduan terhadap sesuatu yang tidak bisa kembali—sesuatu yang telah hilang atau tidak terjangkau lagi.

Perasaan ini sangat terkait dengan fenomena waktu yang tak bisa diulang, yang selalu bergerak maju meskipun hati atau pikiran kita ingin kembali ke masa lalu. Ada perasaan penyesalan, kerinduan, dan keputusasaan yang datang bersamaan, yang menandakan bahwa apa yang telah berlalu tidak bisa lagi diputar kembali. Keadaan ini menciptakan perasaan terjebak, di antara harapan yang belum terkabul dan kenyataan yang sudah tidak bisa diubah.

Makna Puisi: Sebuah Refleksi tentang Kehilangan dan Kerinduan

Puisi "Senja di Bulu Matamu" menggambarkan perasaan kerinduan yang datang bersama waktu. Senja, yang merupakan simbol dari perubahan atau akhir hari, digunakan oleh penyair untuk menggambarkan momen ketika perasaan datang begitu dalam. Rindu yang "menjelma" dan kesunyian yang "melambaikan" diri menggambarkan kedalaman perasaan yang tersembunyi di balik kenangan yang sudah berlalu.

Penulis juga menggambarkan perasaan keterjebakan dalam waktu, di mana seseorang tak bisa melanjutkan hidup tanpa terlebih dahulu menerima atau menyelesaikan kenangan yang telah berlalu. Kesunyian dan kerinduan menjadi teman dalam perjalanan emosional ini, yang menggambarkan bagaimana seseorang bisa terperangkap dalam masa lalu, menunggu sesuatu yang tidak akan pernah kembali.

Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang bagaimana kita sering kali terjebak dalam kenangan yang telah berlalu. Ketika waktu terus berjalan, kita bisa merasa kehilangan dan terhenti di antara kerinduan terhadap sesuatu yang tak dapat kita raih lagi. Senja, sebagai simbol waktu yang berlalu, memberikan gambaran yang sangat puitis tentang perasaan itu—perasaan yang bisa datang begitu mendalam dan menyentuh, tetapi juga perasaan yang sulit untuk ditinggalkan atau dilupakan.

Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Senja di Bulu Matamu menyentuh tema universal tentang cinta, rindu, dan waktu. Puisi ini mengajak kita untuk merenung, untuk menyadari betapa banyak perasaan yang terpendam dalam diri kita, meskipun tampaknya hanya senja dan kesunyian yang menemani kita di malam hari.

"Puisi Joshua Igho"
Puisi: Senja di Bulu Matamu
Karya: Joshua Igho
© Sepenuhnya. All rights reserved.