Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Semakin Sering (Karya Putu Oka Sukanta)

Puisi “Semakin Sering” karya Putu Oka Sukanta bercerita tentang sepasang suami istri yang mulai merasakan keterasingan dalam rumah tangga mereka.
Semakin Sering

Semakin sering kita bertanya
tidak hanya dimana kita sekarang
kabut knalpot menutup pandang
bukankah masih di rumah kita berdua
Ragu, keraguan, gamang, kegamangan.

Siapa engkau istriku?
Siapa aku suamimu?

Pacu kuda, kuda dilecut berpacu
mengusung ide-ide, juga amanat Tuhan
telah menjadi mantel atau degup jantung
Ah, sudah waktunya mencari terminal
sejenak, setidaknya mengenang cinta
dalam kerinduan yang tak berwajah.

Jakarta, 2006

Sumber: Surat Bunga dari Ubud (2008)

Analisis Puisi:

Puisi “Semakin Sering” karya Putu Oka Sukanta merupakan perenungan batin tentang relasi suami-istri yang dilanda keraguan, keterasingan, dan kehilangan makna kebersamaan. Dengan gaya puitis yang sederhana namun tajam, penyair berhasil mengangkat kompleksitas hubungan emosional antara dua insan yang tinggal di rumah yang sama, namun merasa jauh dan asing satu sama lain.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keretakan relasi rumah tangga dan krisis identitas emosional dalam kebersamaan. Penyair mengangkat persoalan batin yang muncul ketika hubungan suami-istri mulai kehilangan arah, makna, dan keintiman. Ada perasaan asing yang kian tumbuh, meskipun secara fisik masih berada di tempat yang sama.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Kehidupan modern menimbulkan keterasingan, bahkan dalam hubungan paling dekat sekalipun, seperti antara suami dan istri. Kesibukan, rutinitas, serta tekanan dunia luar menjadikan pasangan merasa jauh meskipun tinggal bersama.
  • Pertanyaan eksistensial menjadi refleksi kebersamaan yang mulai goyah. Kalimat “Siapa engkau istriku? / Siapa aku suamimu?” bukan hanya menggambarkan keraguan personal, tetapi juga mempertanyakan fondasi relasi yang selama ini dibangun.
  • Cinta bisa berubah bentuk, bahkan menghilang, jika tak dipelihara. Dan ketika cinta berubah menjadi kenangan, ia pun tak lagi punya wajah yang jelas — hanya berupa bayang-bayang samar dari masa lalu.
Puisi ini bercerita tentang sepasang suami istri yang mulai merasakan keterasingan dalam rumah tangga mereka. Meskipun masih tinggal di rumah yang sama, hubungan emosional mereka terasa renggang, dipenuhi keraguan dan pertanyaan mendasar tentang siapa diri masing-masing dalam ikatan tersebut. Narasi puitik ini menggambarkan kebingungan, kegelisahan, serta usaha untuk merenung dan mencari kembali cinta yang mulai memudar.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini cenderung suram, reflektif, dan kontemplatif. Ada nuansa ketidakpastian yang kuat, dipenuhi kabut, ragu, dan keinginan untuk kembali menemukan makna cinta yang dulu pernah ada. Penyair menuliskan suasana batin yang gundah, tetapi tidak dalam nada marah — melainkan dalam bentuk keheningan yang pilu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditarik dari puisi ini adalah:

Cinta dan hubungan suami istri bukan hanya soal keberadaan fisik dalam satu rumah, melainkan soal kedekatan emosional dan pengenalan diri yang terus-menerus. Ketika keraguan muncul, perlu ada waktu jeda untuk merenung, mencari makna, dan mengenang cinta agar tidak menjadi asing di tengah kedekatan.

Penyair juga tampaknya ingin menyampaikan bahwa dalam kebisingan hidup modern (dilambangkan dengan kabut knalpot), hubungan batiniah dapat terkikis jika tidak dirawat secara sadar.

Unsur Puisi

Beberapa unsur penting dalam puisi ini:
  • Diksi: Kata-kata seperti kabut knalpot, keraguan, mantel, terminal, dan kerinduan yang tak berwajah dipilih secara cermat untuk menggambarkan kompleksitas suasana batin dan kondisi emosional yang abstrak.
  • Enjambemen: Beberapa baris berlanjut ke baris berikutnya tanpa jeda titik, menciptakan kesan mengalir, seperti pikiran yang berkelindan.

Imaji

Puisi ini menggunakan imaji visual dan batiniah untuk membangun suasana dan makna:
  • “kabut knalpot menutup pandang” → menciptakan imaji visual tentang keterbatasan pandangan, yang mewakili ketidakjelasan arah atau makna hubungan.
  • “kuda dilecut berpacu” → menghadirkan imaji gerak dan tekanan hidup yang terus-menerus, membuat pasangan seperti kehilangan kendali atas hidup mereka.
  • “mencari terminal” → menggambarkan keinginan untuk berhenti sejenak, mencari jeda di tengah perjalanan rumah tangga yang melelahkan.
  • “kerinduan yang tak berwajah” → imaji batin yang sangat kuat; kerinduan yang tak bisa diidentifikasi, membentuk kegelisahan tak berujung.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “kabut knalpot menutup pandang” → metafora dari situasi kehidupan modern yang menyesakkan dan mengaburkan nilai-nilai hubungan.
  • “kerinduan yang tak berwajah” → menggambarkan kerinduan abstrak yang sulit dipahami atau dikenali.
Pertanyaan retoris:
  • “Siapa engkau istriku? / Siapa aku suamimu?” → tidak untuk dijawab secara literal, tetapi menggambarkan kegelisahan mendalam.
Personifikasi:
  • “pacu kuda, kuda dilecut berpacu” → menggambarkan tekanan hidup yang terus-menerus dan tak memberi waktu untuk refleksi atau istirahat.
Puisi “Semakin Sering” karya Putu Oka Sukanta adalah gambaran puitik tentang pergolakan batin dalam hubungan suami-istri yang tergerus oleh waktu dan tekanan hidup modern. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun padat makna, puisi ini menyuarakan krisis eksistensial yang muncul dalam rumah tangga: ketika keberadaan fisik tidak lagi menjamin keintiman, dan ketika cinta mulai menjelma menjadi kenangan samar.

Melalui puisi ini, kita diajak untuk merenungkan kembali pentingnya kesadaran emosional dalam menjaga hubungan, serta pentingnya mengambil jeda — untuk kembali menyentuh cinta yang mungkin telah lama terabaikan.

"Puisi Putu Oka Sukanta"
Puisi: Semakin Sering
Karya: Putu Oka Sukanta
© Sepenuhnya. All rights reserved.