Puisi: Monolog kepada Sahabat (Karya Muhammad Rois Rinaldi)

Puisi "Monolog kepada Sahabat" menggambarkan perasaan sakit hati dan kesedihan yang dialami akibat pengkhianatan oleh seorang sahabat.
Monolog kepada Sahabat

Masih ingatkah ketika kau memelukku dengan satu tikaman di punggung? Berbisik "Tersenyumlah!" lantas melenggangkan tawa, hingga langit-langit itu sesak suaramu.

Sejenak kutawar senyum, tapi maut terlanjur meranum. Liang tanah yang tergali perih teriak "Belum saatnya!" sedangkan tak ada sesiapa untuk menopang gemetar raga.

Seketika sekelibat wajah kecil bersua lantang melirih "telah tertelan luka, telah tersimpan duka-lara dalam sekotak hidup" di dadaku semua bergemuruh dalam jelaga dan aku tersungkur menanti pertanda.

Cilegon, Banten, 08 April 2012

Analisis Puisi:

Puisi "Monolog kepada Sahabat" karya Muhammad Rois Rinaldi adalah sebuah karya yang mendalam dan emosional, yang mengungkapkan tema persahabatan, pengkhianatan, dan dampak emosional dari hubungan tersebut. Dengan gaya bahasa yang puitis dan metaforis, puisi ini menggambarkan perasaan sakit hati dan kesedihan yang dialami akibat pengkhianatan oleh seorang sahabat.

Pengkhianatan dalam Persahabatan

Puisi ini dimulai dengan pertanyaan retoris, "Masih ingatkah ketika kau memelukku dengan satu tikaman di punggung?" Kalimat ini langsung membawa pembaca ke inti dari konflik emosional yang dibahas. Memeluk sambil menusukkan "satu tikaman di punggung" melambangkan pengkhianatan atau kecurangan yang dilakukan oleh seseorang yang dipercaya. "Berbisik 'Tersenyumlah!' lantas melenggangkan tawa," menunjukkan bahwa meskipun pengkhianatan tersebut terjadi, pelaku tetap bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi, sementara dampak emosionalnya begitu mendalam.

Respon Emosional dan Konsekuensi

Ketika dikatakan "Sejenak kutawar senyum, tapi maut terlanjur meranum," puisi ini mengungkapkan bahwa meskipun ada usaha untuk mengatasi situasi dengan senyum, rasa sakit hati yang mendalam sudah tidak bisa dihindari. "Liang tanah yang tergali perih teriak 'Belum saatnya!'" menggambarkan perasaan tertekan dan kesedihan yang mendalam, seolah-olah ada bagian dari diri yang masih belum siap untuk menghadapinya. Liang tanah dan teriakan "Belum saatnya!" menyiratkan bahwa rasa sakit dan duka masih sangat nyata dan harus dihadapi meskipun ada dorongan untuk melanjutkan hidup.

Kehampaan dan Rasa Sakit

Bagian selanjutnya, "Sedangkan tak ada sesiapa untuk menopang gemetar raga," menggambarkan kesepian dan ketidakmampuan untuk mendapatkan dukungan di saat-saat sulit. Ini menggarisbawahi bagaimana pengkhianatan dan kesedihan bisa membuat seseorang merasa terasing dan tidak didukung.

Pernyataan "Seketika sekelibat wajah kecil bersua lantang melirih 'telah tertelan luka, telah tersimpan duka-lara dalam sekotak hidup'" menunjukkan bagaimana rasa sakit dan luka emosional mempengaruhi seluruh hidup seseorang. "Sekotak hidup" melambangkan bagaimana pengalaman dan perasaan tersebut menyusut dalam ruang terbatas namun berisi banyak duka. "Dalam jelaga dan aku tersungkur menanti pertanda" mengindikasikan keadaan penuh kesuraman dan ketidakpastian tentang apa yang akan datang berikutnya.

Refleksi dan Kesimpulan

Puisi "Monolog kepada Sahabat" menyajikan eksplorasi mendalam tentang dampak emosional dari pengkhianatan dalam persahabatan. Melalui penggunaan bahasa yang kuat dan metaforis, Muhammad Rois Rinaldi berhasil menyampaikan rasa sakit, kesedihan, dan kesepian yang dirasakan akibat tindakan seseorang yang sangat dipercaya. Puisi ini menyoroti betapa besar dampak emosional dari pengkhianatan dan bagaimana hal tersebut bisa mengubah cara pandang seseorang terhadap kehidupan dan hubungan mereka.

Dengan gaya penulisan yang intens dan reflektif, puisi ini tidak hanya menggambarkan rasa sakit pribadi, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan arti dari kepercayaan, pengkhianatan, dan dukungan dalam hubungan persahabatan.

Muhammad Rois Rinaldi
Puisi: Monolog kepada Sahabat
Karya: Muhammad Rois Rinaldi

Biodata Muhammad Rois Rinaldi:
  • Muhammad Rois Rinaldi lahir pada tanggal 8 Mei 1988 di Banten, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.