Analisis Puisi:
Puisi ini mengusung tema perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan sosial dan penderitaan hidup. Penyair menyoroti kehidupan yang terus-menerus dilanda persoalan, mulai dari bencana alam, penggusuran, hingga kesulitan ekonomi, yang mendorong lahirnya sikap pembangkangan sebagai suara kolektif masyarakat.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan panjang seorang tokoh yang menjadi saksi sekaligus bagian dari penderitaan rakyat. Ia membawa keluh kesah, menanggung derita bersama, dan terus menyuarakan keresahan yang tak kunjung usai. Dari musim ke musim, dari satu negeri ke negeri lain, persoalan hidup masyarakat tak pernah benar-benar selesai. Pada akhirnya, muncul kesadaran bahwa pembangkangan bukan hanya milik segelintir orang, melainkan bagian dari hakikat hidup banyak orang yang ditindas.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa perlawanan dan pembangkangan lahir dari penderitaan yang terus-menerus dialami rakyat kecil. Ketika harapan tak kunjung terwujud, ketika ketidakadilan terus menimpa, pembangkangan menjadi sesuatu yang wajar, bahkan sebuah keniscayaan. Pesan yang ingin ditegaskan penyair adalah bahwa suara rakyat tidak boleh diremehkan, karena dari setiap keluhan ada tekad untuk melawan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa muram, getir, namun penuh semangat perlawanan. Penyair menghadirkan nuansa penderitaan yang berat, tetapi pada saat yang sama juga menyalakan api keberanian untuk menolak tunduk pada keadaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah bahwa setiap orang memiliki hak untuk melawan ketidakadilan. Ketika kehidupan menekan dan sistem tidak berpihak pada rakyat, maka pembangkangan menjadi bentuk pembelaan diri dan martabat. Penyair menegaskan bahwa pembangkangan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan untuk bertahan dan menuntut perubahan.
Imaji
Puisi ini memunculkan beberapa imaji yang kuat:
- Imaji perjalanan: “kereta yang ditumpanginya sudah silih berganti, dalam perjalanan ke beberapa benua dan negeri” melukiskan panjangnya perjalanan hidup dan pengalaman.
- Imaji penderitaan sosial: “hari ini bicara soal bencana alam besok digusur, hari ini harga naik bayi mati belum dikubur” menghadirkan gambaran nyata betapa kerasnya realitas yang dihadapi rakyat.
- Imaji kolektifitas: “membawa keluh kesah penduduk yang tak pernah diam” menekankan bahwa penderitaan bukan milik satu orang, melainkan seluruh masyarakat.
Majas
Beberapa majas yang hadir dalam puisi ini antara lain:
- Hiperbola – “remuk redam kehidupan orang sekampung” melebih-lebihkan penderitaan untuk memperkuat kesan betapa beratnya beban hidup.
- Metafora – “kereta yang ditumpanginya sudah silih berganti” melambangkan perjalanan panjang hidup dan pengalaman yang terus berubah.
- Paradoks – “yang memekik dan mengeluh tidak akan jadi merapuh” menyiratkan bahwa meski menderita, rakyat tidak menyerah, justru semakin kuat.
Puisi "Menjadi Pembangkang Milik Setiap Orang" karya Mawie Ananta Jonie adalah sebuah refleksi sosial-politik yang menyoroti penderitaan rakyat kecil dan lahirnya perlawanan. Tema perlawanan, imaji penderitaan sosial, hingga majas yang memperkuat suasana menjadikan puisi ini sebagai suara kritik yang tajam terhadap ketidakadilan. Pembangkangan dipandang bukan sebagai hal negatif, melainkan sebagai kekuatan kolektif rakyat dalam menuntut keadilan.
Karya: Mawie Ananta Jonie