Puisi: Gugatan Rara Jonggrang (Karya Lasinta Ari Nendra Wibawa)

Puisi Gugatan Rara Jonggrang karya Lasinta Ari Nendra Wibawa mengangkat tema feminisme, penindasan, dan pengorbanan dalam konteks cerita legenda ...
Gugatan Rara Jonggrang
(kepada Bondowoso yang terlahir di abad ini)

Mengapa kau begitu marah padaku, Bondowoso
usai menikamkan keris berulang-ulang ke dada Romo
bukankah aku yang lebih berhak marah dan berang
saat air mata merayakan kepergian orang tersayang
sampai harus memerankan lakon sebagai tahanan
bisa-bisanya kau yang menang menjadi pesakitan.

Mengapa kau begitu angkuh ingin mempersuntingku
usai kerismu melenyapkan waliku terlebih dahulu
bukan lewat kesetiaan dan kata manis penuh rayu
sebagaimana jejaka memikat gadis berabad-abad lalu
sebelum keduanya mulai menjalin kisah satu atap
menanam kasih sayang dalam denyut doa dan harap.

Mengapa kau terus saja memaksa
agar aku lekas-lekas menyetujuinya
hingga kuajukan syarat sebab terpaksa
satu malam membangun seribu candi
yang kukira kau bisa menerjemahkannya
sebagai penolakan seribu kali
tentu aku tak menyangka kau menyanggupinya
dengan bantuan pasukanmu yang tak kasat mata
menepikan diri bahwa kau adalah seorang ksatria!

Mengapa pula kau mengutukku menjadi patung
saat memergoki aku dan kaumku memukul lesung
yang membuat pasukan lelembutmu berlarian
cemas mengira matahari segera muncul ke peraduan
kecemasan yang sama saat kau sulut pertempuran
hingga memaksa rakyatku melukis masa depan
sebagai negeri jajahan:
Menyetorkan upeti sebagai lambang pengabdian!
Menyetorkan perempuan cantik sebagai hiburan!

Kisah perempuan mana yang lebih pedih daripada aku
berangkat dari seorang putri raja menjelma arca batu
yang semula beraroma melati kini tertutup debu
Duh, alangkah cepatnya takdir mengubahku
seperti bermain dadu.

Maka terpaksalah aku menjalankan peran
sebagai penggenap apa yang semula kau janjikan
Yah, membangun seribu candi
Yah, seribu ilusi.

Kelak suatu saat aku akan bereinkamasi
kembali menjadi perempuan-perempuan suci
yang hidup dipaksa memenuhi hasrat-ambisi
lelaki-lelaki, tanpa seorang wali
berulang-ulang kami mesti menjalani peran ini
di negeri seribu pulau, seribu tradisi.

Surakarta, 24-25 Januari 2013

Analisis Puisi:

Puisi Gugatan Rara Jonggrang karya Lasinta Ari Nendra Wibawa adalah sebuah karya yang mengangkat tema feminisme, penindasan, dan pengorbanan dalam konteks cerita legenda Rara Jonggrang. Dengan gaya bahasa yang puitis dan penuh emosi, puisi ini berhasil menggambarkan rasa sakit, kemarahan, dan ketidakadilan yang dialami oleh Rara Jonggrang.

Konflik Emosional

Puisi ini dimulai dengan ungkapan kemarahan Rara Jonggrang terhadap Bondowoso, yang menikamkan keris ke dada Romo, ayahnya. Kalimat “bukankah aku yang lebih berhak marah dan berang” menunjukkan ketidakadilan yang dirasakan Rara Jonggrang. Dia merasakan kehilangan yang mendalam dan berhak atas kemarahan itu, tetapi justru diposisikan sebagai “tahanan” dari keadaan.

Taktik Penolakan

Rara Jonggrang menunjukkan keberanian dan kecerdasan dalam menghadapi Bondowoso yang angkuh dan menginginkan dirinya. Dalam bait “Mengapa kau terus saja memaksa”, terlihat bagaimana Bondowoso berusaha memaksanya untuk menerima lamaran tanpa mengindahkan perasaannya. Dengan memberikan syarat “satu malam membangun seribu candi,” Rara Jonggrang mencoba untuk menolak secara halus, namun tak disangka Bondowoso menyanggupi tantangan tersebut.

Penindasan dan Perubahan Takdir

Puisi ini juga menggambarkan bagaimana Rara Jonggrang dipaksa menjalani takdir yang menyakitkan. Dari seorang putri menjadi patung, dia merasakan perubahan drastis yang membuat hidupnya terperangkap dalam kesedihan. Kalimat “Duh, alangkah cepatnya takdir mengubahku” menunjukkan rasa putus asa dan frustrasi yang mendalam.

Simbolisme dan Refleksi Feminisme

Rara Jonggrang menjadi simbol perjuangan perempuan yang terjebak dalam patriarki. Melalui bait “Kelak suatu saat aku akan bereinkamasi,” ada harapan akan kebangkitan dan pembebasan dari belenggu yang ada. Rara Jonggrang ingin melawan penindasan dan menginginkan perempuan lain untuk bangkit dari ketidakadilan yang dialami.

Kritik terhadap Tradisi dan Budaya

Puisi ini juga mengkritik tradisi yang mengharuskan perempuan untuk memenuhi hasrat dan ambisi lelaki. Rara Jonggrang, yang seharusnya memiliki hak atas hidup dan pilihannya sendiri, justru terpaksa menjalani peran yang ditentukan oleh budaya dan tradisi yang patriarkis. Frasa “di negeri seribu pulau, seribu tradisi” menggambarkan bahwa penindasan ini tidak hanya terjadi pada satu individu, tetapi merupakan fenomena yang lebih luas.

Puisi Gugatan Rara Jonggrang adalah sebuah karya yang kuat dalam menggambarkan suara perempuan yang terpinggirkan. Dengan menggunakan narasi Rara Jonggrang, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan isu-isu penindasan gender dan pentingnya suara perempuan dalam menghadapi ketidakadilan. Puisi ini tidak hanya berfungsi sebagai ungkapan rasa sakit, tetapi juga sebagai seruan untuk perubahan dan kesetaraan. Rara Jonggrang, dalam puisi ini, menjadi lambang keberanian dan harapan bagi perempuan untuk mengubah takdir mereka dan memperjuangkan hak-hak mereka.

"Puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa"
Puisi: Gugatan Rara Jonggrang
Karya: Lasinta Ari Nendra Wibawa
© Sepenuhnya. All rights reserved.