Puisi: Biografi Matamu (Karya Raedu Basha)

Puisi "Biografi Matamu" karya Raedu Basha mengeksplorasi konsep cinta dan kehilangan melalui simbolisme tatapan mata.
Biografi Matamu (1)

Aku akan pergi saat matamu merah
menatapku tak lebih
dari seonggok kunang-kunang
sekerjap gelap sekerjap terang
hinggap di batang kerontang.

(Malam petang
kau jerat pekat kesendirianku yang gamang
kapankah awan lenyap kapankah langit benderang
kubawa kelap-kelip bokong sedesas-desus bimbang)

Saat kedip matamu terbuka memandangi sepi
menatap seekor kunang ini teronggok terbang tak pasti
aku akan pergi melayangi udara yang bukan malam kita lagi
karena aku tak ingin dipandang seperti ini.

Biografi Matamu (2)

Lebih baik terpejam.

Terpejamlah saja dan pastikan
aku ada dalam peram mata
bukan bayang wajahku bergentayang
melainkan benang-benang aura
mungkin akan kau rajut ia
menyulami dahaga bagi keringmu di dada
kau untai helai aura bibirku menyentuh inti jiwa
menjahit urat-urat lubukmu
yang bersemayam luka purba
sehelai lain dibuat jaring
menyaring ampas dosa
membening selaksa pahala
sari-sari kejujuran dan tabah rindu bertapa
benang-benangnya juga
menjahit robekan urat nadimu yang renta.

Ohoi, kita adalah darah
yang merah dengan sendirinya
yang mengalir ke lubuk laut
di mana gelombangnya tak reda
mendetakkan kederasannya
dan menepi di batas aorta.

Tetapi denyut akan susut
saat matamu terbuka
maka aku akan pergi
saat matamu tak terpejam lagi
dan menatapkan ujung taji.

Ganding Pustaka, 2014-2017

Analisis Puisi:

Puisi "Biografi Matamu" karya Raedu Basha adalah sebuah karya yang mendalam dan penuh dengan simbolisme mengenai cinta, kehilangan, dan introspeksi. Puisi ini terdiri dari dua bagian yang masing-masing mengeksplorasi perasaan dan makna di balik tatapan mata yang penuh emosi. Melalui permainan kata dan metafora yang kompleks, Raedu Basha mengungkapkan perjalanan emosional seseorang dalam menghadapi keterbukaan dan kedalaman sebuah pandangan.

Biografi Matamu (1): Pergi di Kala Pandangan Merah

Pada bagian pertama puisi, penyair menggambarkan kepergian seseorang saat mata sang kekasih memandang dengan penuh emosi:

"Aku akan pergi saat matamu merah / menatapku tak lebih / dari seonggok kunang-kunang / sekerjap gelap sekerjap terang / hinggap di batang kerontang."

Baris ini menggambarkan kesadaran akan kehilangan makna dalam pandangan kekasih. "Matamu merah" adalah metafora untuk mata yang dipenuhi dengan amarah atau kesedihan. Sementara "seonggok kunang-kunang" yang "sekerjap gelap sekerjap terang" menggambarkan perasaan seseorang yang terombang-ambing antara harapan dan kekecewaan, seperti cahaya kunang-kunang yang tidak konsisten.

"(Malam petang / kau jerat pekat kesendirianku yang gamang / kapankah awan lenyap kapankah langit benderang / kubawa kelap-kelip bokong sedesas-desus bimbang)"

Di bagian ini, suasana malam menjadi simbol ketidakpastian dan kebingungan. Penyair mengungkapkan rasa takut dan kesendirian di tengah gelapnya emosi dan situasi. "Kapankah awan lenyap kapankah langit benderang" mengandung harapan akan kedamaian dan kejelasan, sementara "kelap-kelip bokong sedesas-desus bimbang" menekankan perasaan yang tidak stabil dan mudah berubah.

"Aku akan pergi melayangi udara yang bukan malam kita lagi / karena aku tak ingin dipandang seperti ini."

Kepergian ini bukan sekadar fisik, melainkan juga emosional. Sang "aku" dalam puisi ini memilih pergi daripada harus berada dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian dan pandangan yang tidak lagi penuh cinta.

Biografi Matamu (2): Keheningan dan Keteguhan di Balik Mata yang Terpejam

Bagian kedua puisi menggambarkan keheningan yang muncul ketika mata terpejam dan pemikiran yang mendalam:

"Lebih baik terpejam. / Terpejamlah saja dan pastikan / aku ada dalam peram mata"

Baris ini mengajak untuk menemukan kedamaian dalam keheningan, ketika mata tertutup. Dalam keadaan mata tertutup, tidak ada kebingungan atau keraguan; hanya ada kehadiran yang nyata.

"Ohoi, kita adalah darah / yang merah dengan sendirinya / yang mengalir ke lubuk laut / di mana gelombangnya tak reda"

Metafora darah yang mengalir ke "lubuk laut" menggambarkan emosi manusia yang mendalam dan penuh gejolak. Ada keinginan untuk mencapai kedamaian, tetapi kenyataannya adalah emosi dan perasaan yang tak pernah tenang.

"Tetapi denyut akan susut / saat matamu terbuka / maka aku akan pergi / saat matamu tak terpejam lagi / dan menatapkan ujung taji."

Di sini, ada keputusan untuk pergi ketika mata kembali terbuka. Ini menunjukkan bahwa dalam keterbukaan dan kesadaran yang menyakitkan, hubungan tidak dapat bertahan. "Menatapkan ujung taji" adalah simbol untuk pandangan yang tajam dan penuh ancaman, sebuah kontras dengan keheningan dan kedamaian ketika mata terpejam.

Puisi "Biografi Matamu" karya Raedu Basha mengeksplorasi konsep cinta dan kehilangan melalui simbolisme tatapan mata. Bagian pertama berbicara tentang ketidakstabilan perasaan ketika berhadapan dengan pandangan yang tidak lagi penuh cinta, sementara bagian kedua berbicara tentang kedamaian yang ditemukan dalam keheningan dan refleksi mendalam ketika mata terpejam. Dengan menggunakan metafora yang kaya dan permainan kata yang cerdas, Raedu Basha berhasil mengungkapkan kompleksitas emosional manusia dan hubungan dalam dua bagian puisi ini. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang arti kepergian dan kedamaian dalam cinta dan kehidupan.

"Puisi Raedu Basha"
Puisi: Biografi Matamu
Karya: Raedu Basha
© Sepenuhnya. All rights reserved.