Puisi: Suamiku Tragedi Mei (Karya Kinanthi Anggraini)

Puisi "Suamiku Tragedi Mei" karya Kinanthi Anggraini menyampaikan pengalaman traumatis seorang wanita yang menjadi korban kekerasan seksual saat ...
Suamiku Tragedi Mei

Berhamburan ringan bagai kapas putih lugu
kesana kemari bermain boneka berbaju ungu
berlari dan berteriak kau datang memelukku
memanggil "ibu" dan menangis di pangkuanku.

Sinar matamu menghidupkan mayat berpembuluh
di parasmu tampak ukiran-ukiran bibit lelaki ke-sepuluh
yang membuatku kembali merasakan guguran peluh
hingga aku tak sanggup berdiri dan hanya bersimpuh
tak kuasa menolak dan berbuat banyak, aku lumpuh!
Sementara saat membedaki lehermu sore ini
seolah tanganku bergerak mencekik sendiri
saat menyisiri rambutmu yang wangi
serasa ingin kujambak dan segera kupangkasi.

Dia anakku dari aku yang tak bersuami
penghulu yang menikahkanku hanya dalam mimpi
buah kegagahan Mei yang sebenarnya mengawini
Aryati, gadis penurut yang tak pernah mengerti.

Aku menyayangimu, walau pernah kupukul keras perutku sendiri
Aku mencintaimu, walau pernah membuatnya tak sadarkan diri.

Akupun rela mati
dan peristiwa sudut lorong itu akan kusimpan sendiri
telur buas di otakku ini
perlahan kuyasini, sembari menunggu diriku mati.

Magetan, 6 April 2013

Sumber: Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018)

Analisis Puisi:

Puisi "Suamiku Tragedi Mei" karya Kinanthi Anggraini merupakan karya yang sarat akan muatan emosi dan kisah tragis. Melalui puisi ini, Kinanthi menyampaikan pengalaman traumatis seorang wanita yang menjadi korban kekerasan seksual saat peristiwa Mei 1998 di Indonesia. Puisi ini tidak hanya menggambarkan penderitaan pribadi, tetapi juga menyuarakan suara banyak perempuan yang mengalami nasib serupa.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari lima bait dengan baris yang tidak teratur, mencerminkan kekacauan dan kerusakan yang dialami oleh si penyair. Gaya bahasa yang digunakan sangat ekspresif dan penuh dengan simbolisme, memperlihatkan beban emosional yang berat.

Trauma dan Kekerasan: Tema utama dari puisi ini adalah trauma akibat kekerasan seksual. Baris seperti "buah kegagahan Mei yang sebenarnya mengawini" dan "peristiwa sudut lorong itu akan kusimpan sendiri" secara jelas mengisyaratkan tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh si penyair. Penyebutan "Mei" secara eksplisit mengacu pada kerusuhan Mei 1998, di mana banyak perempuan etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual.

Kepedihan dan Konflik Internal: Puisi ini juga mengeksplorasi konflik internal yang dialami oleh si penyair. Ia merasakan kasih sayang yang mendalam terhadap anaknya, tetapi juga mengingat rasa sakit dan trauma yang melahirkan anak tersebut. Baris seperti "Aku menyayangimu, walau pernah kupukul keras perutku sendiri" dan "Aku mencintaimu, walau pernah membuatnya tak sadarkan diri" menggambarkan kontradiksi perasaan antara cinta dan trauma.

Keterasingan dan Kesendirian: Si penyair merasa terasing dan sendiri dalam penderitaannya. Frasa seperti "penghulu yang menikahkanku hanya dalam mimpi" menunjukkan bahwa ia tidak memiliki pasangan yang sah atau dukungan, dan "telur buas di otakku ini perlahan kuyasini, sembari menunggu diriku mati" mencerminkan isolasi emosional dan keputusasaan yang mendalam.

Simbolisme dan Imaji

Kinanthi menggunakan banyak simbol dan imaji untuk menyampaikan perasaannya. Misalnya, "berhamburan ringan bagai kapas putih lugu" menggambarkan kepolosan yang hilang, sementara "mayat berpembuluh" melambangkan kehidupan yang hampa setelah trauma. Penggambaran anak dengan "ukiran-ukiran bibit lelaki ke-sepuluh" menandakan warisan kekerasan yang terus membayangi hidupnya.

Pesan dan Kritik Sosial

Melalui puisi ini, Kinanthi mengkritik kekerasan seksual dan dampak jangka panjangnya terhadap korban. Dia juga mengangkat isu ketidakadilan sosial dan kurangnya perlindungan bagi perempuan. Puisi ini berfungsi sebagai suara protes dan pengingat akan tragedi yang dialami banyak perempuan selama kerusuhan Mei 1998.

Puisi "Suamiku Tragedi Mei" adalah puisi yang mendalam dan penuh emosi, menggambarkan penderitaan seorang ibu yang harus menghadapi trauma kekerasan seksual dan membesarkan anak yang lahir dari tragedi tersebut. Melalui penggunaan bahasa yang kaya dan simbolis, Kinanthi Anggraini berhasil menyampaikan pesan yang kuat tentang dampak kekerasan seksual dan pentingnya pemahaman serta empati terhadap korban. Puisi ini mengingatkan kita akan sejarah kelam dan pentingnya keadilan serta perlindungan bagi setiap individu, terutama perempuan yang rentan terhadap kekerasan.

Kinanthi Anggraini
Puisi: Suamiku Tragedi Mei
Karya: Kinanthi Anggraini

Biodata Kinanthi Anggraini:
    Kinanthi Anggraini lahir pada tanggal 17 Januari 1989 di Magetan, Jawa Timur.

    Karya-karya Kinanthi Anggraini pernah dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Horison, Media Indonesia, Indopos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Basis, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Riau Pos, Lampung Post, Solopos, Bali Post, Suara Karya, Tanjungpinang Pos, Sumut Pos, Minggu Pagi, Bangka Pos, Majalah Sagang, Malang Post, Joglosemar, Potret, Kanal, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Radar Bekasi, Radar Surabaya, Radar Banjarmasin, Rakyat Sumbar, Persada Sastra, Swara Nasional, Ogan Ilir Ekspres, Bangka Belitung Pos, Harian Haluan, Medan Bisnis, Koran Madura, Mata Banua, Metro Riau, Ekspresi, Pos Bali, Bong-Ang, Hayati, MPA, Puailiggoubat, Suara NTB, Cakrawala, Fajar Sumatera, Jurnal Masterpoem Indonesia, dan Duta Selaparang.

    Puisi-puisi Kinanthi Anggraini terhimpun di dalam buku Mata Elang Biru (2014) dan Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018). Karya-karyanya juga diterbitkan dalam cukup banyak buku antologi bersama.

    Nama Kinanthi Anggraini tertulis dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017).

    Anda mungkin menyukai postingan ini

    © 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.