Sumber: Kalung dari Teman (1999)
Analisis Puisi:
Puisi "Tanaman Tahun" karya Afrizal Malna menyelami tema-tema waktu, perpisahan, dan keabadian dalam konteks kehidupan yang terus berubah. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini menggambarkan pergerakan orang-orang dalam kehidupan dan ketidakpastian yang menyertai setiap janji yang dibuat. Malna menggunakan elemen alam, seperti pohon dan sapi, untuk menggambarkan alur waktu dan ketidakpastian hidup. Puisi ini juga memanfaatkan repetisi untuk memperkuat pesan tentang perputaran waktu yang tidak bisa dihentikan.
Perpindahan dan Ketidakpastian: "Satu dua orang datang satu dua orang pergi"
Penyair mengulang kalimat "Satu dua orang datang satu dua orang pergi," yang menjadi refrains atau pengulangan penting dalam puisi ini. Kalimat ini menggambarkan betapa cepatnya orang-orang datang dan pergi dalam hidup kita. Tidak ada yang abadi, dan kehidupan terus berputar dengan siklus kedatangan dan kepergian yang tak terelakkan. Setiap orang yang datang membawa cerita baru, tetapi mereka juga akan pergi, meninggalkan ruang kosong di belakang mereka. Puisi ini mencerminkan ketidakpastian hubungan antar manusia, bahwa segala sesuatu yang kita anggap tetap atau mapan, pada akhirnya akan berakhir.
Malna tidak hanya membicarakan perpisahan antar manusia, tetapi juga mengaitkannya dengan elemen alam: "Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan sendiri." Ini adalah gambaran tentang bagaimana alam tetap berjalan meskipun kehidupan manusia dipenuhi dengan pergerakan yang lebih terstruktur dan penuh tujuan. Pohon yang tumbuh sendiri dan sapi yang berjalan sendiri menggambarkan kehidupan yang tidak bergantung pada manusia, namun tetap berlangsung dengan ritme alam yang lebih besar.
Waktu yang Terbentang: "Waktu telah jadi bentangan kain"
Selanjutnya Afrizal Malna menggambarkan waktu sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak terikat pada ruang dan tempat: "Waktu telah jadi bentangan kain, Potongan-potongan baju, ke Selatan ke Utara." Kalimat ini menunjukkan bahwa waktu tidak hanya bergerak dalam satu arah, tetapi tersebar di berbagai tempat, bagaikan potongan-potongan kain yang tak terikat pada satu lokasi tertentu. Ini adalah gambaran tentang bagaimana waktu membentang dan membelah kehidupan kita, membawa kita pada arah yang tak selalu kita pilih. Malna juga menyebutkan "Jam 10 malam, toko-toko telah tutup," sebuah simbol bahwa malam, atau akhir dari sebuah hari, adalah waktu yang menandakan sebuah siklus yang selesai. Waktu itu terus berlalu tanpa menghiraukan keadaan kita, apapun yang kita lakukan.
Perpisahan dan Janji yang Tertunda: "Besok aku berjanji menjengukmu"
Salah satu tema penting dalam puisi ini adalah janji yang tertunda dan perpisahan yang tak terelakkan. Dalam beberapa bagian puisi, terdapat kalimat "Besok aku berjanji menjengukmu," yang mengandung harapan akan pertemuan yang belum terlaksana. Namun, seperti yang terlihat dalam akhir puisi, harapan tersebut terhalang oleh kenyataan bahwa "Tanpa dirimu lagi, Di situ." Ini menyiratkan bahwa janji tersebut terlewatkan, mungkin karena kematian atau perpisahan lain yang tak terduga. Kehilangan ini tidak hanya disadari oleh satu pihak, tetapi oleh semua orang yang ada dalam cerita puisi ini. Kehilangan yang datang begitu cepat, membawa seseorang pergi tanpa bisa dihindari.
Pada titik ini, puisi ini menggambarkan betapa sulitnya menerima kenyataan bahwa kehidupan terus berjalan meskipun ada janji yang belum dipenuhi dan pertemuan yang tidak terjadi. Malna menyiratkan bahwa kita sering kali terjebak dalam rutinitas kehidupan, hingga kita melupakan janji yang kita buat kepada orang lain, atau bahkan kepada diri kita sendiri. Ketika kita menyadari bahwa waktu telah berlalu, sering kali kita menemukan diri kita sendiri berada di tempat yang tidak kita harapkan.
Repetisi Sebagai Penegasan Tema Waktu dan Kehilangan
Repetisi kalimat "Satu dua orang datang satu dua orang pergi" adalah teknik penting dalam puisi ini. Pengulangan tersebut memberikan kesan perputaran waktu yang terus-menerus, tanpa henti. Kehidupan penuh dengan datang dan pergi, tidak ada yang tetap, dan setiap pertemuan selalu diikuti dengan perpisahan. Dengan pengulangan ini, Afrizal Malna memperkuat kesan tentang siklus waktu yang tak terhindarkan. Setiap kedatangan dan kepergian adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar, yang sering kali tidak kita sadari sampai akhirnya kita terhenti oleh kenyataan bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang kita anggap penting.
Halaman yang Belum Disapu: Keterlambatan dalam Kehidupan
Pada bagian puisi "Halaman rumah belum disapu," ada kesan ketidakberesan atau kelalaian dalam kehidupan yang tidak terorganisir dengan baik. Halaman rumah yang belum disapu bisa diartikan sebagai keadaan yang tidak terurus, yang bisa jadi simbol dari perasaan atau kenangan yang belum terselesaikan. Ini bisa menunjukkan bahwa meskipun kehidupan terus berjalan, kita sering kali gagal untuk menyelesaikan atau merawat apa yang telah kita mulai, baik itu hubungan, pekerjaan, atau janji yang kita buat. Hal ini memperlihatkan betapa cepatnya waktu berlalu tanpa kita bisa menyelesaikan segala hal yang seharusnya kita lakukan.
Puisi "Tanaman Tahun" karya Afrizal Malna adalah sebuah refleksi tentang waktu, perpisahan, dan janji yang tertunda. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini menggambarkan bagaimana kehidupan terus bergerak maju, dengan datang dan pergi-nya orang-orang yang kita kenal. Waktu, seperti halnya kehidupan, terus berlalu tanpa menunggu kita siap atau tidak. Janji-janji yang kita buat, kenangan yang kita simpan, dan semua yang kita anggap penting, akhirnya akan tergantikan oleh perpisahan dan kehilangan yang tak terhindarkan. Namun, dalam setiap kepergian, ada juga kesempatan untuk membuat janji baru, meskipun terkadang kenyataan bisa lebih keras dari yang kita harapkan. Puisi ini mengajak kita untuk lebih sadar akan waktu, kehilangan, dan betapa berharganya setiap momen yang kita jalani.
Puisi: Tanaman Tahun
Karya: Afrizal Malna
Biodata Afrizal Malna:
- Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.