Puisi: Spiker di Jendela Kereta (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Spiker di Jendela Kereta" menggambarkan perjalanan fisik dan emosional seseorang dalam sebuah kereta api, diwarnai dengan kenangan dan ...
Spiker di Jendela kereta

Spiker menatapku dari jendela. Kereta mengantarku, seperti mengurai lagi kisah-kisah masa lalu, di antara lintasan kawat listrik, bangkai-bangkai stasiun. Tubuhmu masih hangat. Setiap ucapan seperti menyimpan gelas tumpah di situ, yang kini telah menjadi kota baru, dengan berbagai penghuni dan toko-toko.

Tetapi kenapa aku temukan polisi pada setiap kata, yang pernah kau ucapkan. Lalu kereta bergerak, seperti benda padat jatuh di atas seng. Lalu jalan-jalan penuh mikrofon, spiker dan karbon-karbon terbakar. Tas kopermu terbuka di situ, menjatuhkan tomat, ketimun, dan sikat gigi. Seperti pukulan gendrang dari sebuah negeri kecil di asia selatan.

Waktu itu ada peta kemerdekaan penuh kembang api. Orang-orang berpidato, seakan mereka semua seorang presiden yang memproklamirkan bangsanya: "kami pindahkan kekuasaan dalam tempo sesingkat-singkatnya…" Lalu kaca jendela kereta basah. Malam telah membungkus semua koper untuk pergi.

Di stasiun, orang-orang berdiri. Mereka saling berdiam di hadapan spiker. Tahu, jam-jam berlalu, tidak membawa siapa pun pergi ke rumah sendiri. Sebuah kota penuh spiker, tak perlu lagi mendengar suaramu.

1989

Analisis Puisi:

Puisi "Spiker di Jendela Kereta" karya Afrizal Malna adalah sebuah karya yang menggambarkan perjalanan fisik dan emosional seseorang dalam sebuah kereta api, diwarnai dengan kenangan dan refleksi yang kompleks.

Perjalanan Fisik dan Emosional: Puisi ini mencatat perjalanan fisik seseorang dalam sebuah kereta api, namun juga merenungkan perjalanan emosionalnya. Spiker yang menatap dari jendela menciptakan suasana introspeksi dan refleksi yang dalam.

Keterhubungan dengan Masa Lalu: Dalam kereta, penyair merenungkan tentang kisah-kisah masa lalu yang terurai kembali di hadapannya. Bangkai-bangkai stasiun dan lintasan kawat listrik mewakili jejak-jejak masa lalu yang terabaikan atau terlupakan.

Keberadaan Orang Tertentu: Keberadaan seseorang yang hangat masih dirasakan dalam perjalanan ini. Setiap ucapan dan kenangan menyimpan makna yang mendalam, seolah-olah menjelma menjadi kota baru dengan penghuninya masing-masing.

Konflik Internal: Penyair merenungkan konflik internal yang mungkin dirasakan terhadap seseorang yang pernah berbicara. Polisi pada setiap kata mencerminkan rasa tidak aman atau ketidaknyamanan yang dirasakan penyair.

Simbolisme: Simbolisme tomat, ketimun, dan sikat gigi yang jatuh dari tas koper melambangkan kekacauan dan kehilangan kontrol, sementara kaca jendela kereta yang basah menunjukkan perubahan dan kemungkinan pencucian atau pemurnian.

Refleksi atas Kemerdekaan: Ada refleksi atas kemerdekaan dan perubahan yang melanda sebuah negara, dengan pidato-pidato dan peta kemerdekaan yang diproklamirkan. Namun, malam yang membungkus koper untuk pergi menunjukkan ketidakpastian dan kerumitan proses tersebut.

Kesepian dan Keterasingan: Orang-orang di stasiun yang berdiri diam mengekspresikan kesepian dan keterasingan, dihadapkan pada spiker yang tak lagi relevan. Ini mencerminkan perasaan terisolasi dan hilangnya hubungan manusiawi di dunia modern yang terhubung secara digital.

Kehilangan Suara Pribadi: Kota penuh dengan spiker menunjukkan dominasi teknologi komunikasi modern dan hilangnya suara individu. Orang-orang tidak lagi perlu mendengar suara pribadi satu sama lain, yang menggambarkan dehumanisasi dalam masyarakat kontemporer.

Puisi "Spiker di Jendela Kereta" adalah sebuah karya yang merenungkan perjalanan fisik dan emosional, menggambarkan kompleksitas kenangan, hubungan, dan perubahan dalam kehidupan manusia. Dengan penggunaan gambaran dan simbolisme yang kuat, puisi ini memperluas makna dan mendorong pembaca untuk merenungkan hubungan mereka dengan masa lalu, kini, dan masa depan.

"Afrizal Malna"
Puisi: Spiker di Jendela Kereta
Karya: Afrizal Malna
© Sepenuhnya. All rights reserved.