Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Galeri Fotografi (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Galeri Fotografi" karya Afrizal Malna bercerita tentang pengalaman eksistensial seseorang yang berusaha memotret kehidupan, tubuh, dan ...
Galeri Fotografi

Apa kabar? Kalau aku menyapamu dengan kamera mati yang melepaskan dirinya dari halaman pertama buku tentang fotografi. BaikKalau engkau merasa aku ada dalam dirimu ketika engkau berada di luar dirimu. Diagram sudut cahaya yang menciptakan gelap dalam fokusnya. KlikMelepaskan dokumentasi sunyi, tubuh sakit dan tercecer dalam rak buku, diagram aku dalam garis-garis vertikal dan diagram kamu dalam garis-garis horisontal, saling memotong aku di luar bingkai sendiri. BaikSuara telapak kaki kuda di antara bangkai-bangkai arsip. Bau pabrik dari langit. Klik. Udara bertangan ketika aku memunguti helai-helai rambutmu di atas sprai putih. Sebuah senggama kematian manusia, di tengah upacara pemakaman sebuah jaman.

Klik.
Baik.
Apakah kematian bisa memotretku.

Sumber: Museum Penghancur Dokumen (2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Galeri Fotografi" karya Afrizal Malna adalah sebuah karya yang penuh simbol, menyatukan dunia visual fotografi dengan renungan eksistensial tentang tubuh, kenangan, dan kematian. Afrizal, yang dikenal sebagai penyair eksperimental, kerap memadukan imaji keseharian dengan refleksi filosofis. Dalam puisi ini, kamera, cahaya, dan bingkai fotografi menjadi perangkat untuk berbicara tentang pengalaman manusia yang terjebak dalam arsip sejarah, tubuh yang sakit, dan rasa kehilangan.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah eksistensi manusia dan dokumentasi kehidupan melalui simbol fotografi. Fotografi digunakan bukan hanya sebagai medium visual, melainkan metafora untuk merekam hidup, luka, dan bahkan kematian.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman eksistensial seseorang yang berusaha memotret kehidupan, tubuh, dan sejarah melalui kamera yang justru menghadirkan sunyi. Kamera, cahaya, dan arsip menjadi simbol bagaimana hidup manusia terdokumentasikan, tetapi tetap rapuh dan terbatas. Bahkan, pertanyaan terakhir “Apakah kematian bisa memotretku” menunjukkan keinginan untuk memahami batas akhir kehidupan melalui media visual.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup manusia pada akhirnya hanyalah potongan-potongan dokumentasi yang tercecer, tidak pernah utuh. Fotografi sebagai metafora menegaskan bahwa kehidupan selalu berusaha ditangkap, namun selalu ada sisi yang terlewat, berada di luar bingkai. Kematian pun dipertanyakan: apakah ia bisa menjadi kamera yang merekam keberadaan terakhir manusia? Puisi ini menyiratkan keraguan dan keterasingan manusia modern yang terjebak dalam arsip, teknologi, dan sejarah yang tidak sepenuhnya mampu mewakili kehidupan.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini terasa suram, penuh kesunyian, reflektif, dan sekaligus getir. Kata-kata seperti “tubuh sakit”, “bangkai-bangkai arsip”, “senggama kematian”, hingga “pemakaman sebuah jaman” memberi nuansa muram yang membungkus seluruh teks. Suasana tersebut mengajak pembaca merenungkan relasi manusia dengan sejarah, tubuh, dan kefanaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa hidup manusia selalu berusaha mendokumentasikan dirinya, tetapi arsip dan kenangan tak pernah mampu menangkap keseluruhan eksistensi. Dengan demikian, kita diingatkan untuk menyadari keterbatasan hidup dan arti penting dari kehadiran saat ini, alih-alih sekadar terjebak dalam arsip atau bayangan masa lalu.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual, auditif, dan olfaktori:
  • Visual: “diagram sudut cahaya”, “garis-garis vertikal dan horisontal”, “helai-helai rambutmu di atas sprai putih” → menggambarkan detail fotografi dan tubuh.
  • Auditif: “suara telapak kaki kuda di antara bangkai-bangkai arsip” → menghadirkan suasana sepi yang justru ditekankan oleh bunyi.
  • Olfaktori: “bau pabrik dari langit” → membangkitkan aroma yang asing, menambah atmosfer surealis.
Imaji-imaji ini menjadikan puisi seperti galeri fotografi yang absurd, di mana pembaca diajak melihat potongan hidup yang tidak runtut tetapi kuat secara visual.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: Kamera sebagai simbol kehidupan, arsip sebagai simbol sejarah, dan kematian sebagai pemotret terakhir.
  • Personifikasi: “udara bertangan” → memberi sifat manusiawi pada udara, menambah kesan surealis.
  • Repetisi: “Klik.” → menegaskan ritme seperti bunyi kamera yang menangkap momen, sekaligus menggarisbawahi kesunyian.
  • Hiperbola: “senggama kematian manusia, di tengah upacara pemakaman sebuah jaman” → penggambaran yang dilebihkan untuk menekankan kehancuran peradaban.
Puisi "Galeri Fotografi" karya Afrizal Malna adalah refleksi eksistensial yang menggunakan metafora fotografi untuk berbicara tentang hidup, arsip, tubuh, dan kematian. Tema eksistensi, suasana suram, serta imaji visual yang kuat menjadikan puisi ini seperti potret absurd kehidupan manusia modern. Afrizal mengingatkan bahwa dokumentasi, betapapun lengkapnya, tak akan pernah menangkap seluruh diri kita. Pada akhirnya, manusia hanya bisa bertanya: apakah kematian pun sanggup memotret keberadaan kita?

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Galeri Fotografi
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.