Catatan (1)
udara AC asing di tubuhku
mataku bingung melihat
deretan buku-buku sastra
dan buku-buku tebal intelektual
terkemuka
tetapi harganya
o aku ternganga
musik stereo mengitariku
penjaga stand cantik-cantik
sandal jepit dan ubin mengkilat
betapa jauh jarak kami
uang sepuluh ribu di sakuku
di sini hanya dapat 2 buku
untuk keluargaku cukup buat
makan seminggu
gemerlap toko-toko di kota
dan kumuh kampungku
dua dunia yang tak pernah bertemu
Solo, 1987-1988
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Catatan (2)
jauh hari sebelum kedua clash dalam sejarah kita
rakyat adalah tulang punggung
tiang utama majapahit mataram dan
tulang belulang segala monumen peringatan
tembok raksasa cina piramid mesir serta borobudur
buku sejarah mana cukup halaman catatannya
sejarah selalu penuh nama-nama pujangga
raja dan pahlawan-pahlawan gugur demi bangsa
tetapi tak pernah lengkap
di zaman kerja paksa rakyat membikin anyer-panarukan
dengan air mata bangkainya
di zaman romusha jepang menanam kapas dengan tangan
rakyat kita
dalam dua perang dunia tak tahu apa-apa
pada upacara kemerdekaan bangsa kita selalu kita
sebut nama-nama agung
tetapi sejarah tahu berapa juta ember darah siapa
ditenggak sudah demi hidup
hari ini
marilah kita berdoa demi arwah!
amin.
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Analisis Puisi:
Puisi-puisi berjudul “Catatan” karya Wiji Thukul memuat tema besar perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan kekerasan negara. Namun tema-tema kecil di dalamnya juga menyangkut kemiskinan struktural, penderitaan rakyat kecil, keterasingan aktivis, sejarah rakyat yang dilupakan, dan kenangan keluarga yang terluka oleh represi politik.
Makna Tersirat
Wiji Thukul tidak sekadar menulis puisi sebagai luapan perasaan, melainkan sebagai dokumen politik yang menyimpan fakta sosial dan sejarah yang tak dicatat dalam narasi resmi. Kalimat “kucatat” dalam salah satu puisinya bukan sekadar repetisi retoris, tetapi menjadi simbol kesaksian terhadap kekerasan dan ketidakadilan.
Di sisi lain, puisi “Catatan” yang menceritakan kepergian seorang ayah (aktivis) dari keluarganya mengandung makna tersirat bahwa perlawanan menuntut pengorbanan personal, bahkan harus meninggalkan anak dan istri. Di balik semua itu, ada cinta dan rindu yang diam-diam menyertai, yang justru memperkuat makna perjuangan.
Unsur Puisi
- Diksi: Wiji Thukul menggunakan bahasa lugas, tidak berbunga-bunga. Ia memilih kata-kata sehari-hari yang mudah dipahami oleh rakyat, seperti: “kucatat”, “rotan”, “dipukul”, “sandal jepit”, “anak-anak”, dll.
- Rima dan Irama: Sebagian puisinya tidak mengandalkan rima, tapi ritme hadir lewat pengulangan dan paralelisme.
- Pengulangan: Seperti dalam puisi “Catatan” (4), pengulangan frasa “Lagi… kucatat” membentuk struktur ritmis yang tegas, seperti palu memukul kesadaran.
- Struktur naratif: Beberapa puisinya berbentuk monolog naratif yang mengisahkan pengalaman personal sekaligus publik.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
- Catatan adalah alat perlawanan: setiap pengalaman, setiap kekerasan, harus dicatat agar tidak lenyap.
- Perlawanan bukan hanya di jalanan, tapi juga dalam tulisan: puisi adalah senjata dalam bentuk lain.
- Rakyat kecil harus diakui dalam sejarah: tidak boleh hanya nama pejabat atau pahlawan yang diperingati.
- Ketika sistem hukum dan demokrasi dirusak, rakyat harus merebut kembali hak-haknya—meski harus menghadapi risiko dituduh sebagai penjahat.
- Kemanusiaan lebih penting dari kekuasaan: cinta terhadap keluarga, keberanian mengakui ketakutan, adalah nilai-nilai luhur yang melebihi segala wacana politis.
Imaji
- Imaji visual: tubuh yang dipukul, ubin toko buku yang mengkilat, anak-anak yang tertidur, kampung kumuh dan toko mewah—semuanya menciptakan gambaran yang kontras dan menyentuh.
- Imaji auditori: tangisan anak, dentum langkah aparat, dan suara hati yang resah karena pengasingan.
- Imaji emosional: dada yang mengepal, langkah tergesa karena dikejar, pipi yang dicium sebelum pergi, semuanya menyulut empati.
Majas
- Repetisi: seperti “kucatat” yang diulang-ulang membentuk kekuatan retoris.
- Metafora: tubuh sebagai ‘bukti’, ‘kampung dan kota’ sebagai dua dunia tak pernah bertemu.
- Paradoks: “tak ingin jadi pahlawan, tapi dipaksa jadi penjahat”.
- Sarkasme: terlihat dalam baris-baris yang menyindir “sejarah penuh nama pahlawan, tapi lupa siapa yang mengangkut batu Borobudur”.
Puisi-puisi berjudul “Catatan” karya Wiji Thukul bukan hanya ekspresi estetika, tetapi dokumen perjuangan dan perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Ia tidak hanya mencatat untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kita semua—agar ingatan tentang kekerasan, luka, dan harapan tidak lenyap ditelan sejarah yang selektif. Lewat bahasa sederhana, ia menyusun “catatan” yang menjadi peluru paling tajam melawan penindasan.
Karya: Wiji Thukul
Biodata Wiji Thukul:
- Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
- Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
- Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).
