Nama Hamzah Al-Fansuri pasti tidak asing untuk pecinta sejarah aceh, terlebih beliau adalah seorang yang mahir dalam cukup banyak bidang ilmu. Beliau adalah Ulama Sufi, dan juga Sastrawan abad ke-16.
Sejarah unik tentang Syeh Hamzah Al-Fansuri adalah, makam beliau yang berada di lebih dari satu tempat. Berdasarkan yang saya tau, Desa Oboh Kecamatan Rundeng Sekitar 15 KM dari Kota Subulussalam, adalah rujukan pertama, namun saya belum sempat menyinggahi. ada juga yang menyebut bahwa makam beliau terdapat di Malaysia, Wallahu A'lam.
Semua sejarah ini sudah sangat sulit diteliti, karena sumbernya pun terlihat hilang ditelan sejarah. Hal ini juga sedikit membuktikan bahwa penduduk Aceh lupa menghargai sejarah (kalimat untuk diri sendiri).
Dan pada kesempatan kali ini, saya akan membagikan kisah perjalanan saya menuju ke Makam Hamzah Al-Fansuri yang berada di Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar... Jika anda berada di Pusat Kota Banda Aceh, maka anda harus mengambil jalur ke Ulee Lhe menuju ke Ujong Pancu. Dan ujung dari pada perjalanan itulah letak Makam Hamzah Al-Fanshuri. Bukan hanya ujung perjalanan, tapi juga ujung jalan (jalan buntu).
Tidak sampai di situ, karena anda harus berjalan kaki kurang lebih 10 menit untuk berada di Makam Syeh Hamzah Al-Fansyuri. Jalan yang anda lalui adalah sedikit harus mendaki, dan jalan tersebut berada tepat di kaki gunung yang dimana di bawahnya juga membentur Bibir laut.
Saat kami melakukan perjalanan ini, kami hanya menjumpai satu kelompok yang sedang menurun (hendak pulang). Dan itu berarti, saya dan teman saya (Agoes) adalah dua orang terakhir yang tersisa. Tiba di sana, kami melihat-lihat kondisi sekitar makam, kami tidak berani memasuki makam yang berada di dalam tempat yang tertutup layaknya rumah satu ruangan tersebut.
Berdasarkan papan hijau yang berdiri tegak di luar pagar makam, tertulis tata tertib yang sedikit membuktikan watak Penduduk Aceh. Tata tertib ke-1 sampai tata tertib ke-3 bukanlah suatu yang janggal, namun peraturan ke-4 adalah hal yang aneh di dalam pandangan saya : "Dilarang Kain Makam dibakar".
Entah apa maksud dari pada tata tertib di atas, yang pastinya hanya orang gila yang akan melanggar larangan tertib tersebut. Di samping kiri dari letak makam, terdapat sebuah bangunan yang bisa dikatakan tempat untuk beristirahat untuk para pengunjung, atau mungkin memang khusus untuk penjaga makam. Namun anehnya lagi, di sini kami tidak melihat satu sosok manusia pun selain diri kami berdua.
Sekitar 10 menit berada di sana, kami memilih meninggalkan Makan, karena waktu memang terlalu singkat untuk berlama-lama. Perjalanannya memang singkat, namun akibat sudah cukup lama tanpa olah raga, saya harus istirahat sejenak pada perjalanan pulang...
Pada kesempatan kali ini, saya mengajak teman-teman sekalian untuk lebih peduli dengan warisan leluhur. Karena jika bukan kita (yang muda-muda) yang menjaga sejarah, siapa lagi yang akan melakukannya.