Puisi: Dalam Gerimis (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Dalam Gerimis" karya Taufiq Ismail membawa pembaca pada sebuah perjalanan emosional dan reflektif, menelusuri makna di balik gerimis yang ...
Dalam Gerimis

Segugus kapuk randu
Melayang dalam hujan
Menyambung suara bumi berbisik. Tertengadah
Pohon-pohon bungur berbunga ungu
Langit yang mekar dalam hujan pertama

Pohon bungur menyebarkan warna ungu
Sepanjang jalan raya
Angin yang mengetuk mendung. Di atas kota
Menjelang gugus malam
Musim kemarau berbisa
Deretan sedih pohon jeungjing
Sepanjang tebing

Di langit nyaris lembayung. Kawanan
Kelelawar beterbangan ke tenggara
Kawat-kawat telepon berjajaran menghitami
Cakrawala yang retak warna
Kota dalam sayatan jingga
Kelelawar dan kapuk randu
Melayang dalam gerimis
Di atas rimba kotaku.

Dahan gladiola telanjang dan menggigil
Memanjang padang yang gelisah
Dari selatan seakan ada yang memanggil
Ini hanya sementara, akan membentang
Musim lebih parah

Mendung mengucur perlahan
Dengan kaki-kaki ramping
Dan gerimis berlompatan
Di pipi sungai. Sungai pedalaman yang jernih
Kijang-kijang istana berlarian
Berkerisik dalam pusingan dedaun coklat

Tangan yang mengacung ke langit
Dengan jari-jemari mengembang
Meninggi dalam bisa kemarau yang panjang
Sejarah berjalan terbungkuk, di padang ini
Menyalakan kemarau dan gunung api
Kemudian menuliskan namanya
Pada tangga waktu

Di langit sudah lembayung
Kapuk randu melayang dalam gerimis
Dan kelelawar bergayutan di puncak hutan
Jajaran jendela luka
Yang tertutup dan menanti
Suara memanggil. Walau terhenti
Dalam menggigil
Kapuk randu bergugusan
Melayangi gerimis malam.

1963

Sumber: Tirani dan Benteng (1993)

Analisis Puisi:

Puisi "Dalam Gerimis" karya Taufiq Ismail merupakan sebuah karya yang penuh dengan imaji dan simbolisme alam yang menggambarkan suasana hati serta renungan mendalam terhadap alam dan kehidupan. Melalui bahasa yang halus dan penuh keindahan, puisi ini membawa pembaca pada sebuah perjalanan emosional dan reflektif, menelusuri makna di balik gerimis yang menyelimuti kota dan hutan.

Kapuk Randu dan Pohon Bungur: Simbol Alam dan Kehidupan

Di awal puisi, Taufiq Ismail menghadirkan gambaran segugus kapuk randu yang melayang dalam hujan. Kapuk randu, yang berasal dari pohon randu, sering kali dikaitkan dengan kelembutan dan ringan, seolah melambangkan pikiran atau perasaan yang mengapung dalam suasana hujan. Hujan itu sendiri menjadi simbol dari kesedihan atau suasana hati yang muram, yang diperkuat oleh ungkapan "menyambung suara bumi berbisik." Ini menunjukkan adanya koneksi antara alam dan manusia, di mana alam seolah-olah berbisik atau berbicara melalui hujan.

Pohon bungur yang berbunga ungu menambahkan sentuhan visual yang kuat, di mana warna ungu sering diasosiasikan dengan kedalaman emosi dan spiritualitas. Pohon bungur ini menjadi saksi dari pergantian musim, dari kemarau yang kering menuju hujan yang membawa kehidupan baru. Namun, di balik keindahan ini, terdapat rasa melankolis, sebuah kesedihan yang mengiringi perubahan alam.

Gerimis dan Angin: Pertanda Perubahan

Gerimis dalam puisi ini bukan hanya fenomena cuaca, tetapi juga pertanda dari sesuatu yang lebih dalam. "Angin yang mengetuk mendung" memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang akan datang, mungkin sebuah perubahan atau akhir dari sesuatu yang telah lama dinantikan. Kota yang digambarkan dengan "cakrawala yang retak warna" dan "kota dalam sayatan jingga" menunjukkan bahwa perubahan ini tidaklah mulus, melainkan penuh dengan konflik dan perpecahan.

Kelelawar yang beterbangan dan kapuk randu yang melayang dalam gerimis semakin menegaskan suasana misterius dan penuh ketidakpastian. Kelelawar, yang sering dikaitkan dengan kegelapan dan malam, serta kapuk randu yang ringan dan mudah terbang terbawa angin, melambangkan perpaduan antara keindahan dan kesedihan yang membayang di atas kota.

Kemarau dan Sejarah: Siklus Kehidupan yang Tak Terelakkan

Puisi ini juga berbicara tentang kemarau yang panjang dan berbisa, yang diibaratkan sebagai "tangan yang mengacung ke langit" dengan jari-jari yang mengembang, seolah-olah meminta belas kasihan dari langit yang tidak kunjung memberikan hujan. Kemarau di sini bisa dipahami sebagai simbol dari kesulitan atau penderitaan yang dialami manusia, yang berjalan terbungkuk di bawah beban sejarah.

"Sejarah berjalan terbungkuk, di padang ini / Menyalakan kemarau dan gunung api / Kemudian menuliskan namanya / Pada tangga waktu" adalah baris yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi—baik itu kemarau panjang, gunung api yang meletus, atau bencana lainnya—merupakan bagian dari sejarah yang akan terus diingat dan tercatat dalam waktu. Ini adalah refleksi mendalam tentang bagaimana kehidupan dan alam saling terkait dalam siklus yang tak terelakkan.

Penutup: Suara Alam dan Kehidupan yang Terus Bergulir

Di akhir puisi, Taufiq Ismail mengakhiri dengan gambaran langit yang sudah lembayung, kapuk randu yang melayang dalam gerimis, dan kelelawar yang bergayutan di puncak hutan. Ini menandakan bahwa meskipun perubahan terus terjadi, ada sesuatu yang tetap, yaitu suara alam yang terus memanggil, meskipun terkadang suaranya terhenti dalam menggigil.

Puisi ini menyiratkan bahwa dalam setiap perubahan, baik itu hujan pertama setelah kemarau panjang, atau gerimis yang membawa suasana baru, selalu ada harapan dan keindahan yang dapat ditemukan, bahkan di tengah kesedihan dan ketidakpastian. Taufiq Ismail berhasil menggabungkan elemen-elemen alam dengan perasaan manusia, menciptakan puisi yang penuh dengan kedalaman makna dan keindahan visual. Dalam Gerimis bukan sekadar puisi tentang hujan, tetapi juga tentang kehidupan, perubahan, dan siklus yang tak terelakkan di alam dan dalam diri manusia.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Dalam Gerimis
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.