Puisi: UUD 45 (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "UUD 45" karya Taufiq Ismail mengkritik secara tajam penerapan dan pemahaman Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia.
UUD 45

Di negeri tempat pada yang serba sakti
Ada saja orang masih percaya
UUD '45 sudah lama dilantik jadi semacam 
Dewa
Mata rabun menyangka dia memancarkan kesaktian

Dari dia mantera pembangunan digumamkan
Dalam paduan suara yang penuh keteraturan
Haram ada penjamahan, apalagi pelengkapan
Amanat dari penyusunnya dilupakan

Dia harus disempurnakan
Tapi dia jadi Kitab Steril yang dibebas-hamakan
Dia bahkan dinaikkan eselon jadi Tuhan
Kepadanya secara periodik sesajen dihidangkan

Anak-anak kecil sampai anak-anak berkumis dipertakut-takuti
Pikiran mereka dibekukan dan dibebalkan
Ketika 25 pelanggaran dilakukan terang-terangan
Laras pestol ke tengkuk oposisi ditodongkan.

1998

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998)

Catatan:
Deliar Noer, 1995.

Analisis Puisi:

Puisi "UUD 45" karya Taufiq Ismail mengkritik secara tajam penerapan dan pemahaman Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia. Melalui gaya bahasa yang tajam dan simbolik, puisi ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap penggunaan UUD 45 yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aslinya dan bagaimana ia dihadapkan pada realitas politik dan sosial.

Puisi ini dimulai dengan penggambaran UUD 45 sebagai entitas sakti:

"Di negeri tempat pada yang serba sakti
Ada saja orang masih percaya
UUD '45 sudah lama dilantik jadi semacam Dewa
Mata rabun menyangka dia memancarkan kesaktian"

Di sini, Taufiq Ismail menggambarkan bagaimana UUD 45 dianggap sebagai sesuatu yang sakral atau suci, hampir seperti dewa. Konsep "mata rabun" menunjukkan bahwa banyak orang tidak melihat dengan jelas bahwa UUD 45, yang dianggap sakti, sebenarnya tidak selalu efektif atau relevan dalam konteks modern.

Selanjutnya, puisi ini mengkritik bagaimana UUD 45 digunakan dalam praktik:

"Dari dia mantera pembangunan digumamkan
Dalam paduan suara yang penuh keteraturan
Haram ada penjamahan, apalagi pelengkapan
Amanat dari penyusunnya dilupakan"

Taufiq Ismail mengkritik bagaimana UUD 45 diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah atau dipertanyakan. "Mantera pembangunan" dan "paduan suara" merujuk pada cara dokumen ini digunakan untuk menciptakan dan mempertahankan narasi yang diinginkan, sementara "amanat dari penyusunnya" yang sebenarnya seringkali diabaikan.

Kemudian, puisi ini menggambarkan UUD 45 yang dianggap sebagai "kitab steril":

"Dia harus disempurnakan
Tapi dia jadi Kitab Steril yang dibebas-hamakan
Dia bahkan dinaikkan eselon jadi Tuhan
Kepadanya secara periodik sesajen dihidangkan"

Di sini, Taufiq Ismail menyatakan bahwa alih-alih disempurnakan, UUD 45 malah dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh disentuh atau diperbaiki, hampir seperti kitab suci yang diolah secara ritualistik. Konsep "sesajen" menunjukkan pemujaan yang berlebihan terhadap dokumen ini.

Puisi ini juga menyoroti penindasan terhadap oposisi:

"Anak-anak kecil sampai anak-anak berkumis dipertakut-takuti
Pikiran mereka dibekukan dan dibebalkan
Ketika 25 pelanggaran dilakukan terang-terangan
Laras pistol ke tengkuk oposisi ditodongkan."

Taufiq Ismail mengkritik bagaimana masyarakat, dari anak-anak hingga orang dewasa, ditakut-takuti dan pikirannya dibekukan dalam situasi politik yang represif. "25 pelanggaran" merujuk pada pelanggaran yang dilakukan secara terbuka dan jelas, sementara "laras pistol" menandakan ancaman kekerasan terhadap mereka yang berani menentang.

Pesan Moral dan Filosofi

  • Kritik terhadap Pemahaman Hukum: Puisi ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap cara UUD 45 dipahami dan diterapkan. Taufiq Ismail mengkritik pemahaman yang kaku dan sakral terhadap dokumen ini, menunjukkan bahwa hukum harusnya berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.
  • Represi dan Penindasan: Dengan menyoroti bagaimana oposisi diancam dan ditakut-takuti, puisi ini mengungkapkan bagaimana kekuasaan bisa menyalahgunakan otoritas untuk menekan kritik dan perbedaan pendapat.
  • Kebutuhan untuk Perubahan: Taufiq Ismail menegaskan pentingnya perubahan dan penyempurnaan UUD 45. Bukannya menjadikannya sebagai sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh, dokumen ini harus dibahas dan diperbaiki sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan konteks zaman.

Relevansi Kontemporer

Puisi ini memiliki relevansi yang kuat dalam konteks politik dan hukum kontemporer:
  • Refleksi Hukum dan Perubahan: Dalam era di mana hukum dan konstitusi sering kali dipertanyakan dan dituntut untuk diperbarui, puisi ini mengingatkan kita bahwa dokumen-dokumen hukum harus dapat beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik.
  • Kebebasan Berbicara dan Hak Asasi: Taufiq Ismail menunjukkan betapa pentingnya kebebasan berbicara dan hak asasi manusia dalam sistem politik. Penindasan terhadap kritik dan oposisi tidak hanya melanggar hak dasar, tetapi juga dapat merusak kesehatan demokrasi.
  • Kesadaran Sosial: Puisi ini mendorong pembaca untuk lebih sadar akan bagaimana hukum dan kebijakan diterapkan dan diinterpretasikan. Kesadaran ini penting untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan diterapkan secara adil dan efektif.
Puisi "UUD 45" karya Taufiq Ismail adalah karya yang tajam dan reflektif, mengkritik cara UUD 45 diperlakukan dan diinterpretasikan. Dengan gaya bahasa yang kuat dan simbolik, puisi ini menggarisbawahi kebutuhan untuk pemahaman dan penerapan hukum yang lebih fleksibel dan responsif terhadap perubahan zaman. Selain itu, puisi ini juga memberikan peringatan tentang bahaya pemujaan yang berlebihan terhadap dokumen hukum dan perlunya menghargai kebebasan berpendapat dalam sistem politik.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: UUD 45
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.