Analisis Puisi:
Puisi "Di Engkelili, Suatu Pagi" karya Ajip Rosidi mengeksplorasi tema-tema seperti perjalanan hidup, ketidakpastian, dan kefanaan melalui gambaran empat lelaki yang menyusuri pinggir kali. Melalui puisi ini, Rosidi menyampaikan refleksi mendalam tentang kondisi manusia dan perjalanan yang tak terhindarkan menuju takdir yang tak pasti.
Gambaran Empat Lelaki dan Sungai
"Empat lelaki menyusur pinggir kali / Nasibnya mengalir bersama air menghilir"
Puisi dimulai dengan gambaran empat lelaki yang menyusuri pinggir sungai. Sungai, dalam konteks ini, berfungsi sebagai metafora untuk perjalanan hidup dan nasib yang mengalir seperti air. Keterhubungan antara lelaki-lelaki tersebut dan sungai menggambarkan bagaimana nasib manusia sering kali bergantung pada kekuatan yang lebih besar, di luar kendali mereka.
Ketidakpastian dan Arah Tujuan
"Di mana mereka bertemu? / Ke mana mereka kan pergi? / Dalam hati yang mengerti / Menuju ufuk kelabu"
Rosidi menekankan ketidakpastian dan kekaburan arah tujuan dalam hidup. Meskipun lelaki-lelaki tersebut berusaha memahami dan mengarahkan perjalanan mereka, arah dan tujuan tetap samar. "Ufuk kelabu" menunjukkan ketidakjelasan masa depan dan kesulitan untuk meraih kepastian dalam perjalanan hidup.
Waktu dan Kefanaan
"'Pabila mereka berangkat / Dan kapan akan kembali? / Telah tetap setiap saat / Menempuh arus waktu / Tidak terhingga"
Di bagian ini, penyair menyoroti sifat waktu yang terus mengalir tanpa henti. Pertanyaan tentang kapan mereka akan berangkat dan kembali mencerminkan ketidakpastian waktu dan siklus kehidupan yang tak terputus. Puisi ini menggambarkan bahwa perjalanan dan pengalaman manusia terus berlanjut, tak terhingga dalam konteks waktu.
Nasib dan Keterbatasan Manusia
"Empat lelaki berdiri di pinggir kali / Nasib bagaikan air: Selalu luput dari genggaman."
Puisi diakhiri dengan refleksi tentang nasib yang tak dapat digenggam atau dikendalikan sepenuhnya. Nasib yang "selalu luput dari genggaman" menggarisbawahi kefanaan dan ketidakpastian dalam hidup manusia. Seperti air yang mengalir, nasib manusia terus bergerak tanpa bisa dikendalikan sepenuhnya.
Interpretasi
Puisi "Di Engkelili, Suatu Pagi" adalah puisi yang mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup dan ketidakpastian yang menyertainya. Rosidi menggunakan gambarannya tentang empat lelaki yang menyusuri sungai sebagai metafora untuk perjalanan manusia yang tidak pasti dan tidak terhindarkan.
Puisi ini menyoroti bahwa meskipun manusia berusaha memahami dan mengarahkan perjalanan hidup mereka, banyak aspek yang tetap di luar kendali mereka. Sungai yang mengalir dan nasib yang luput dari genggaman menggambarkan realitas bahwa banyak hal dalam hidup adalah fluida dan tidak pasti.
Puisi ini menawarkan pandangan yang puitis dan reflektif tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan waktu, nasib, dan perjalanan hidup. Melalui bahasa yang sederhana namun mendalam, Rosidi mengungkapkan bahwa meskipun manusia berusaha keras, banyak aspek kehidupan tetap berada di luar kendali mereka, mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti.
Karya: Ajip Rosidi
Biodata Ajip Rosidi:
- Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
- Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
- Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.