Puisi: Sajak Lapar (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Sajak Lapar" karya Diah Hadaning menggambarkan pengalaman lapar dalam berbagai dimensi, baik fisik, emosional, maupun sosial.
Sajak Lapar (1)

Kubungkam laparku
dengan mengunyah batu-batumu
meminum ombak-ombakmu
menghisap-hisap deritamu.

Kubungkam tangisku
dengan mecucup keluhmu
melulur tulangmu
melantun tawakalmu.

Kubungkam dendamku
dengan diamku
suntukku
karena habis segala pada dirimu
ibuku
ibu dari segala penderitaan
lahir matinya kampung harapan.


Sajak Lapar (2)


Ketika Tuan lapar
kuberikan keringat kerja
ketika Tuhan lapar
kuberikan dzikir doa 
ketika cinta lapar 
kuberikan kata setia 
ketika teknologi lapar
ingin kuberikan gunung Muria.


Sajak Lapar (3)


Aku lahir oleh musim 
yang menyimpan lapar dunia 

karena laparku bukan lapar siapa-siapa 
maka kumakan laparku 
agar aku hilang lapar

laparku bersumpah akan menjadi lapar abadi 
jika aku memakan bukit dan hutan 
jika aku memakan pulau dan lahan 
jika aku memakan laut dan nelayan 
jika aku memakan kota dan kilang 
aku dan laparku 
'kesetiaan' sederhana.

Jakarta, 1991

Analisis Puisi:

Puisi "Sajak Lapar" karya Diah Hadaning menggambarkan pengalaman lapar dalam berbagai dimensi, baik fisik, emosional, maupun sosial. Melalui metafora lapar, penyair menyampaikan pesan-pesan yang mendalam tentang kebutuhan, kekosongan, dan keinginan manusia.

Kehadiran Lapar sebagai Metafora: Penyair menggunakan lapar sebagai metafora yang kuat untuk menyampaikan berbagai makna dalam puisinya. Lapar tidak hanya diartikan secara harfiah sebagai kebutuhan akan makanan, tetapi juga menggambarkan kekosongan, kebutuhan emosional, dan keinginan yang tidak terpenuhi dalam kehidupan. Dengan cara ini, lapar menjadi simbol dari berbagai aspek kehidupan manusia yang tidak terpenuhi.

Rasa Lapar Fisik dan Emosional: Dalam setiap bagian puisi, penyair mengeksplorasi rasa lapar dalam berbagai dimensi. Rasa lapar fisik tercermin dalam gambaran mengunyah batu-batu, meminum ombak-ombak, dan memakan lapar sendiri. Namun, lebih dari sekadar kebutuhan akan makanan, lapar juga menggambarkan kekosongan emosional dan kebutuhan akan pengakuan, pemahaman, dan kehadiran sosial.

Pengorbanan dan Penolakan: Pada bagian kedua puisi, penyair menyoroti tema pengorbanan dan penolakan dalam menanggapi lapar. Ketika dihadapkan pada lapar, individu seringkali mengorbankan sebagian dirinya, baik dalam bentuk kerja keras, doa, kesetiaan, atau keinginan untuk memberikan yang terbaik. Namun, pada saat yang sama, individu juga bisa menolak atau menentang rasa lapar tersebut dengan cara yang berbeda, seperti diam atau menggunakan teknologi untuk menanggulangi lapar secara langsung.

Kesetiaan dan Kehidupan Manusia: Dalam bagian terakhir puisi, tema kesetiaan dan kehidupan manusia dijelaskan melalui konsep lapar yang abadi. Penyair menyoroti bagaimana lapar menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan bagaimana manusia cenderung menelanjangi segalanya untuk memenuhi rasa lapar tersebut. Namun, dalam kesetiaannya, lapar juga menuntut pengorbanan yang besar, yang dapat berdampak pada lingkungan dan kehidupan sosial.

Melalui puisi "Sajak Lapar", Diah Hadaning mengajak pembaca untuk merenungkan tentang makna lapar dalam kehidupan manusia. Puisi ini menyoroti bagaimana lapar tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan fisik, tetapi juga memiliki dimensi emosional, sosial, dan spiritual yang mendalam. Dengan menggunakan metafora lapar, penyair menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia dan tantangan yang dihadapinya dalam menanggapi kebutuhan dan keinginan yang tidak terpenuhi.

Puisi: Sajak Lapar
Puisi: Sajak Lapar
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.