Sumber: Tamparlah Mukaku (1982)
Analisis Puisi:
Puisi "Mengapa Selalu Kutulis Sajak" karya Acep Zamzam Noor adalah salah satu karya yang menggambarkan kepekaan dan kedalaman spiritual sang penyair. Puisi ini mengungkapkan hubungan antara penulis dengan Tuhan melalui media puisi, di mana sajak bukan hanya sekadar rangkaian kata, tetapi juga sarana pencarian makna dan bentuk ibadah. Melalui bait-baitnya, Acep mengajak kita untuk merenungkan peran puisi dalam mengungkapkan perasaan, kegelisahan, dan kerinduan yang mendalam.
Pengungkapan Kerinduan Melalui Puisi
Di bait pertama, Acep menanyakan alasan mengapa sajak menjadi medium yang selalu ia tulis ketika kerinduan menyerangnya. “Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku” menunjukkan bahwa dorongan untuk menulis puisi datang dari perasaan yang mendalam, yang mungkin tidak bisa diungkapkan dengan cara lain. Kerinduan ini tidak hanya merujuk pada perasaan rindu akan seseorang atau sesuatu, tetapi lebih kepada kerinduan yang spiritual, yaitu kerinduan kepada Tuhan. Melalui sajak, sang penyair berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, seolah hanya puisi yang mampu menampung dan mewakili perasaan tersebut.
Pertanyaan “Mengapa harus sajak, Tuhanku, mengapa harus ia” menunjukkan adanya pencarian makna dalam pilihan medium. Sang penyair tampak bertanya-tanya, mengapa dari sekian banyak bentuk ekspresi, justru sajak yang menjadi perantara untuk menyampaikan kerinduan ini. Dalam konteks ini, puisi menjadi semacam perantara antara manusia dan Tuhan, sebuah bentuk komunikasi batiniah yang intens.
Puisi Sebagai Tugas dan Ibadah
Selanjutnya, Acep menyampaikan bahwa jika menulis sajak adalah sebuah tugas, maka ia akan menerima dan menjalankannya hingga akhir hayat. Ini menggambarkan bahwa menulis sajak baginya bukan hanya sekadar hobi atau kegiatan biasa, melainkan juga bentuk pengabdian yang harus dijalani dengan penuh ketulusan dan kesadaran. Sang penyair menyamakan menulis puisi dengan “tugas” yang harus diemban, yang menuntut dedikasi tanpa batas. Ia berkomitmen menjalani “tugas” ini seolah merupakan panggilan hidup yang telah ditetapkan untuknya.
Tak hanya tugas, menulis puisi juga digambarkan sebagai “sembahyang.” Dalam pandangan Acep, menulis sajak adalah bentuk ibadah. Ketika ia menyebut “akan kuusir segala bayangan yang datang / Yang selalu mencoba mengaburkan-Mu,” ia mengisyaratkan bahwa menulis adalah sebuah upaya untuk membersihkan pikiran dari distraksi duniawi yang menghalangi hubungan dengan Tuhan. Dalam ibadah ini, sang penyair berusaha menjaga kemurnian niat dan menjaga fokus hanya pada Tuhan. Dengan demikian, sajak menjadi sarana penyucian jiwa dan jalan spiritual bagi sang penyair.
Puisi sebagai Jawaban atas Kegelisahan dan Pertanyaan
Di bait berikutnya, Acep kembali mempertanyakan mengapa selalu sajak yang ia tulis saat “pertanyaan-pertanyaan datang menyerbuku.” Kata “pertanyaan-pertanyaan” di sini bisa diartikan sebagai kegelisahan, kebingungan, atau bahkan pertanyaan eksistensial yang sering kali mengganggu pikiran manusia. Sajak, bagi sang penyair, adalah cara untuk menghadapi dan mengurai pertanyaan-pertanyaan hidup yang tak terjawab. Dalam mencari jawaban, Acep kembali kepada puisi, seolah-olah sajak adalah satu-satunya medium yang bisa mengalirkan ketidakpastian ini menjadi bentuk yang bermakna.
Acep tampak menganggap bahwa puisi adalah jalan untuk menemukan jawaban spiritual. Mungkin karena sajak, dengan keindahan dan keluwesannya, bisa menyampaikan sesuatu yang tidak mampu disampaikan oleh bahasa sehari-hari. Dengan sajak, ia dapat “membondongkan” perasaan dan kegelisahannya kepada Tuhan dalam bentuk yang lebih mendalam dan reflektif.
Tuhan sebagai Penyair Agung
Di akhir puisi, Acep menyatakan bahwa mungkin alasan ia menulis sajak adalah karena ia tahu bahwa Tuhan adalah “Penyair itu.” Penyair di sini bukan dalam arti harfiah, melainkan sebagai simbol keindahan dan keagungan Tuhan yang tak terlukiskan. Melalui metafora ini, Acep melihat Tuhan sebagai sumber inspirasi terbesar dalam menciptakan dunia dan kehidupan, seperti penyair yang menciptakan karya-karya indah dengan kata-katanya.
Frasa “Engkaulah Penyair itu / Yang begitu mempesonaku” menunjukkan kekaguman Acep kepada Tuhan yang menurutnya adalah Pencipta Agung, yang telah “membelenggu hidup dan matiku dengan segala keasingan-Mu.” Ungkapan ini menyiratkan bahwa Acep merasa terikat dengan Tuhan melalui ketakjuban dan ketakmengertian, sebuah hubungan yang kompleks dan penuh misteri. Bagi Acep, Tuhan adalah Penyair yang mampu menciptakan makna-makna terdalam dalam kehidupan manusia, termasuk keasingan dan ketidakpastian.
Simbolisme dalam Bahasa Sederhana
Acep Zamzam Noor menggunakan bahasa yang sederhana namun kaya akan simbolisme dalam puisi ini. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Tuhan mengisyaratkan kerinduan mendalam dan pencarian yang konstan. Dengan menempatkan sajak sebagai alat komunikasi antara dirinya dan Tuhan, Acep menunjukkan bahwa puisi bukan hanya ungkapan perasaan manusia, tetapi juga bentuk dialog spiritual yang mendalam.
Simbolisme Tuhan sebagai “Penyair” adalah metafora yang kuat. Dalam agama dan spiritualitas, Tuhan sering kali digambarkan sebagai Sang Pencipta, namun jarang yang melihat-Nya sebagai seorang Penyair. Dengan menyebut Tuhan sebagai Penyair, Acep mengisyaratkan bahwa kehidupan ini mungkin merupakan sebuah puisi besar yang diciptakan oleh-Nya. Setiap manusia adalah bagian dari puisi tersebut, yang memiliki makna tersendiri dalam bingkai keindahan dan keasingan-Nya.
Puisi “Mengapa Selalu Kutulis Sajak” karya Acep Zamzam Noor adalah refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan melalui medium puisi. Acep menggambarkan puisi sebagai tugas, sembahyang, dan sarana untuk menjawab kegelisahan. Dalam bait-baitnya, ia merenungkan bagaimana menulis sajak menjadi bentuk ibadah dan penghormatan kepada Tuhan, yang ia anggap sebagai Penyair Agung yang mengilhami segala makna dalam hidup.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti puisi dalam hidup mereka, tidak hanya sebagai alat ekspresi tetapi juga sebagai sarana spiritual. Acep berhasil menyampaikan bahwa sajak adalah cermin dari perasaan terdalam manusia, terutama ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan kerinduan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata biasa. Bagi Acep, puisi adalah jalan menuju pemahaman akan Tuhan dan kehidupan itu sendiri.
Biodata Acep Zamzam Noor:
- Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
- Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.