Puisi: Ketika Matahari Meleleh (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Ketika Matahari Meleleh" karya Diah Hadaning menawarkan sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan, kehilangan, dan pencarian yang tak ...
Ketika Matahari Meleleh

Bekerutlah hati kecil di pinggang kulit
bersalam pada sabana kehilangan kuda
apa kabar, padang perburuan?

Hening panjang tanpa sahutan.

Sabana lengang bagai lelaki tua di huma
menatap langit menyala
di situ baur dendam dan pesona lama
ketika sesekali Yosef, Stefanus dan yang lain
memburu sisa-sisa gairah sabana
walaupun mereka tahu
yang ditemui hanya angin kembara.

Jakarta, 1980

Analisis Puisi:

Puisi "Ketika Matahari Meleleh" karya Diah Hadaning menyajikan gambaran yang kaya akan simbolisme dan makna mendalam, menggugah pembaca untuk merenung tentang waktu, kehilangan, dan pencarian yang tidak pernah berakhir. Dalam puisi ini, penyair memanfaatkan gambar-gambar alam, seperti sabana, matahari, dan angin kembara, untuk mengungkapkan tema-tema universal yang berhubungan dengan hidup, perburuan makna, serta kegundahan hati yang mendalam.

Sabana sebagai Simbol Kehilangan dan Kehampaan

Pada bagian pertama, “Bekerutlah hati kecil di pinggang kulit, bersalam pada sabana kehilangan kuda”, kita dihadapkan dengan gambar sabana yang luas dan kosong, sebagai simbol dari suatu tempat atau kondisi yang telah kehilangan sesuatu yang vital, mungkin harapan atau gairah hidup. Sabana, sebagai padang rumput luas yang terbuka dan tak terhingga, berfungsi sebagai ruang simbolis bagi kehilangan yang tidak tergantikan. Penyair menghubungkan kehilangan ini dengan kuda, yang dalam banyak budaya melambangkan kekuatan, perjalanan, dan kebebasan. Kehilangan kuda menjadi metafora untuk hilangnya suatu elemen penting dalam kehidupan, yang kini hanya menyisakan kekosongan.

Pertanyaan “apa kabar, padang perburuan?” menggugah kesan bahwa segala usaha pencarian atau perburuan untuk menemukan sesuatu yang hilang tidak lagi bermakna, karena padang perburuan yang dimaksud sepertinya sudah tidak memiliki daya tarik atau hasil yang dapat dijadikan tujuan. Sebuah tempat yang dulunya memberi harapan kini menjadi kosong, tanpa tujuan atau makna yang jelas.

Keheningan dan Ketidakberdayaan dalam Kehidupan

Kemudian, puisi ini memasuki bagian yang lebih hening dengan kalimat “Hening panjang tanpa sahutan”. Keheningan ini mencerminkan kedalaman kesendirian dan kebingungan yang ada dalam hidup para karakter dalam puisi ini. Mereka tampaknya terjebak dalam suatu keadaan yang sunyi dan tak bergerak, di mana tidak ada jawaban atau interaksi, hanya ruang kosong yang semakin memperburuk rasa kehilangan dan kehampaan yang mereka rasakan. Hening ini juga mengindikasikan suatu titik ketika waktu dan ruang seakan berhenti, memberikan kesan ketidakberdayaan yang dalam.

Gambaran Sabana yang Lengang: Metafora untuk Kehidupan yang Menjadi Kosong

Sabana dalam puisi ini kembali muncul dengan konotasi yang lebih dalam. “Sabana lengang bagai lelaki tua di huma” memberikan gambaran tentang kehidupan yang sudah dilalui dengan segala peristiwa dan perjalanan, namun kini hanya menyisakan keheningan dan kelelahan. Sabana yang kosong ini menjadi tempat yang menyimpan kenangan yang pudar, serupa dengan sosok lelaki tua yang duduk merenung, seakan meresapi waktu yang telah berlalu. Huma, yang merupakan lahan yang telah dimanfaatkan, melambangkan waktu yang terpakai tanpa hasil yang jelas.

Lelaki tua ini menatap langit yang menyala, menggambarkan bahwa meskipun hidupnya telah banyak kehilangan, ia tetap memandang ke arah masa depan atau sesuatu yang lebih tinggi—sebuah pencarian atau harapan yang tak kunjung terwujud.

Memburu Sisa-Sisa Gairah: Pencarian yang Tak Pernah Selesai

Pada bagian “di situ baur dendam dan pesona lama, ketika sesekali Yosef, Stefanus dan yang lain, memburu sisa-sisa gairah sabana”, puisi ini mengangkat tema tentang pencarian yang tiada habisnya. Nama-nama seperti Yosef dan Stefanus dapat dipahami sebagai simbol atau representasi dari sosok-sosok yang terus berusaha mencari makna atau tujuan dalam kehidupan meskipun mereka tahu bahwa apa yang mereka cari—gairah atau kepuasan—sudah tidak ada lagi. Mereka tetap memburu sesuatu yang tidak dapat ditemukan, seolah-olah mereka mengejar bayangan atau sesuatu yang tidak akan pernah terjangkau.

Dendam dan pesona lama yang bercampur menjadi sebuah gambaran perasaan campur aduk, yang dihadapi oleh mereka yang mencoba menemukan kembali makna hidup namun hanya menemui kekecewaan dan rasa kehilangan.

Angin Kembara: Lambang Keputusasaan dan Ketidakpastian

Di bagian akhir, “walaupun mereka tahu yang ditemui hanya angin kembara”, puisi ini menunjukkan bahwa pencarian mereka akhirnya menemui kehampaan. Angin kembara—angin yang terus bergerak tanpa tujuan atau tempat—menjadi simbol dari pencarian yang sia-sia. Angin yang tidak pernah berhenti, selalu datang dan pergi, melambangkan ketidakpastian dan keputusasaan dalam pencarian makna hidup. Pencarian tanpa akhir ini mencerminkan kondisi manusia yang sering kali merasa terombang-ambing, berusaha mencari tujuan tetapi akhirnya selalu kembali pada titik yang sama.

Puisi "Ketika Matahari Meleleh" karya Diah Hadaning menawarkan sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan, kehilangan, dan pencarian yang tak kunjung selesai. Lewat simbolisme sabana, angin kembara, dan lelaki tua, puisi ini menggambarkan perjalanan hidup manusia yang sering kali dipenuhi dengan kehilangan dan pencarian yang sia-sia. Keheningan yang ada dalam puisi ini menciptakan suasana seakan-akan waktu berhenti, memberi ruang bagi pembaca untuk merenungkan makna yang lebih dalam tentang eksistensi, harapan, dan kenangan.

Puisi ini menggugah kita untuk bertanya: apakah pencarian kita selama ini benar-benar akan membuahkan hasil? Atau justru kita terjebak dalam lingkaran kehampaan, mengejar sesuatu yang sudah hilang dan tak lagi ada?

"Puisi: Ketika Matahari Meleleh (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Ketika Matahari Meleleh
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.