Puisi: Di Ujung Dago (Karya Acep Zamzam Noor)

Puisi Di Ujung Dago menyoroti perasaan kerinduan yang menyakitkan dan ketidakpastian yang sering dialami manusia.
Di Ujung Dago

Sunyi mengalunkan lagu
Pun segala jemu. Semilir angin mengurapi rabu
Ketika langkahku kehilangan tuju
Di antara pohon-pohon dan udara beku

Kabut mempersempit ruang
Memadatkan waktu. Kenapa aku
Kenapa masih menunggu
Kenapa masih percaya padamu

Sedang ruang
Tak mengenal waktu
Sedang waktu tak mengenal ruang
Ruang dan waktu tak mengenal rindu.

Sumber: Tulisan pada Tembok (2011)

Analisis Puisi:

Puisi Di Ujung Dago karya Acep Zamzam Noor menggambarkan suasana batin yang dalam dan kompleks. Dalam puisi ini, penulis menggunakan elemen alam dan pengalaman pribadi untuk menyampaikan tema tentang kesunyian, kehilangan arah, dan pertanyaan eksistensial.

Kesunyian dan Melankoli

Pembuka puisi, “Sunyi mengalunkan lagu, Pun segala jemu,” menggambarkan suasana hening yang dipenuhi dengan keletihan emosional. Kesunyian menjadi latar belakang di mana segala perasaan jemu dan kehilangan tujuan terungkap. Acep Zamzam Noor menciptakan nuansa melankolis yang mendominasi perasaan pembaca, menciptakan ruang untuk refleksi pribadi.

Lingkungan Alam sebagai Cermin Perasaan

Deskripsi “Semilir angin mengurapi rabu” dan “Di antara pohon-pohon dan udara beku” menghidupkan gambaran tentang alam yang seakan mencerminkan keadaan batin sang penyair. Angin yang sejuk dan pohon-pohon yang diam memberikan kontras dengan perasaan kebekuan dan ketidakpastian yang dialami oleh tokoh puisi. Di sini, alam menjadi saksi bisu dari perjalanan emosional dan keraguan yang dirasakan.

Pertanyaan Eksistensial

Pertanyaan retoris yang muncul, “Kenapa aku, Kenapa masih menunggu, Kenapa masih percaya padamu,” menunjukkan kedalaman rasa bingung dan keraguan. Pertanyaan ini menjadi suara hati yang tidak hanya mengekspresikan kebingungan, tetapi juga rasa sakit dan kerinduan. Tokoh dalam puisi merasa terjebak dalam situasi di mana harapan dan realita bertabrakan, menimbulkan ketidakpastian yang menyakitkan.

Keterasingan dalam Ruang dan Waktu

Frasa “Sedang ruang Tak mengenal waktu, Sedang waktu tak mengenal ruang” memberikan gambaran tentang keterasingan yang dialami. Keterasingan ini menciptakan ruang di mana perasaan rindu dan harapan menjadi semakin samar. Ruang dan waktu seolah kehilangan makna ketika dihadapkan pada perasaan mendalam yang dialami oleh tokoh puisi. Ini menggambarkan pengalaman manusia yang sering kali terjebak dalam siklus kesedihan dan kerinduan tanpa akhir.

Mencari Makna di Tengah Kesunyian

Puisi Di Ujung Dago menyoroti perasaan kerinduan yang menyakitkan dan ketidakpastian yang sering dialami manusia. Acep Zamzam Noor dengan mahir menggunakan alam sebagai latar belakang untuk menggambarkan suasana batin yang rumit, menciptakan jalinan antara pengalaman pribadi dan lingkungan di sekitar.

Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk merenungkan makna dari kesunyian dan kerinduan. Kesunyian bukanlah akhir dari segala sesuatu; ia juga bisa menjadi ruang untuk refleksi, di mana seseorang dapat menggali lebih dalam tentang diri mereka dan hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, Di Ujung Dago bukan hanya sebuah puisi tentang kesedihan, tetapi juga tentang pencarian makna di tengah keraguan dan kesepian.

Acep Zamzam Noor
Puisi: Di Ujung Dago
Karya: Acep Zamzam Noor

Biodata Acep Zamzam Noor:
  • Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
  • Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.
© Sepenuhnya. All rights reserved.